Oleh: Purwo Rubiono,
S.Ag.
1. Pendahuluan
Musik telah menjadi
bagian dari kehidupan manusia baik dalam aktifitas sakral maupun profan, ia memiliki daya magis
yang mampu menghipnotis jiwa manusia, oleh karenanya musik memiliki peran yang
sangat penting sepanjang hidup manusia sejak pertama pemunculannya, hingga
akhir zaman. Sebagai produk kebudayaan, musik tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat pendukungnya, karena musik adalah presentasi dan respon manusia baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat terhadap kehidupannya.
Sebagai karya seni, ia adalah ungkapan rasa, ekspresi dan indikator eksistensi
manusia. Dalam peribadatan kuno, musik sangat urgen, ia jembatan yang mampu
mengerakkan manusia yang lainnya menjadi satu rasa. Hal itu dapat dirasakan
bahkan hingga masa sekarang, puji-pujian, doa-doa diucapkan dengan merdu bukan
semata-mata untuk keindahan saja, melainkan membangun kekhusyukan yang
diprlukan untuk ibadah. Telah banyak
kita lihat di berbagai umat beragama dalam peribadatannya, di dalamnya kita
temukan unsur musikal, seperti murrậtal,
azan, qira’at, pembacaan mantera, himne dan Sebagainya.
“Eksotisme”[1][1]
musik tradisional Indonesia tidak terlepas dari gamelan, yang kemudian akan
dideduksikan dalam konteks “musik di Banten”. Pola musikalitas gamelan sangat
besar pengaruhnya di seluruh kebudayaan Nusantara[[2]]. Penelitian gamelan yang semula terkait dengan pulau
Jawa dan Bali justeru berawal di Banten.
Gamelan secara Musikologi berpola pentatonik. Pada catatan moderen, awal keberadaan gamelan hanya digunakan di
keraton-keraton atau istana kerajaan, permainan gamelan merupakan manifestasi
atas kekaguman dan rasa terimakasih kepada Yang Maha Kuasa, bunyinya merupakan
misteri, yang mampu membangkitkan rasa “agung”, “syahdu” (gamelan berlaras
pelog).[3][3]
Kemudian pada perkembangannya gamelan menjadi sarana hiburan (pesta panen,
pernikahan, khitanan, syukuran, dll).
Masih menurut catatan moderen, perubahan fungsi gamelan menjadi
hiburan ini ditandai dengan berpindahtangannya kepemilikan gamelan dari para
bangsawan keraton/kesultanan kepada
masyarakat biasa di era kolonial, seiring dihapuskannya kerajaan/kesultanan.[4][4] Saat
itu pula terjadi kontak kebudayaan Timur
dan Barat, misalnya perkenalan biola bagi orang timur, dan orang Barat mengenal
gamelan.[5][5]
Manusia baik secara genetis maupun psikis memiliki
keterkaitan dengan leluhurnya, maka gagasan yang muncul dapat berdasarkan
pengalaman-pengalaman dari alam bawah sadar, dan mengingat-ingatnya berarti
mengingat pengalaman nenek moyangnya (Carl Jung dalam David A.Statt, 1998:27).
Manusia mewariskan sifat-sifat nenek moyangnya, serta
menemukan kembali metode inovatif dari cara-cara sebelumnya. Demikian pula
dalam seni musik, di berbagai bangsa telah mengenal tangga nada pentatonik
(slendro maupun pelog), serta
terdokumentasikan secara organologis sesuai kondisi sosial dan alamnya
masing-masing. Di Afrika terdapat Balafon, Marimba, kalimba, dan sebagainya. Di
Yunani pada era pra Aristoxenus dan Pythagoras dikenal tangga nada anhemitonik sebagai tangga nada
tradisional mereka, dibuktikan pada alat musik lyra (alat musik berdawai).
Kemudian pada era Pythagoras, anhemitonik dikembangkan menjadi
diatonis berdasarkan teori tetrachord
1 dan tetrachord 2 (Ammer, 2004:146). Mulai saat itulah perkembangan
musik meluas di berbagai bidang.
2. Pengertian Musik
Musik dalam bahasa Yunani berasal dari kata “Mousiké”,
kemudian ditransformasikan melalui bahasa Latin menjadi “Musica”, istilah ini
merujuk kepada “ilmu mengaransemen melodi”. Dalam istilah Arab disebut “‘ilm al-musiqi” yang merujuk untuk musik
secara teori, meskipun orang Arab sendiri menyebutnya sebagai “’Ilm
al-Ghinaa” yang secara empiris telah hadir
di kebudayaan Arab sejak lama.[6][6]
Secara teknis, musik dibangun oleh tiga unsur,
a.
Bunyi, suatu getaran yang dapat ditangkap oleh organ telinga
manusia, yang selanjutnya disebut “nada”.[7][7] Dave Benson menyebutkan, musik itu adalah
getaran udara, dan udara adalah gas yang terdiri dari atom dan molekul,
penambahan dan pengurangan tekanan terhadap molekul inilah yang menyebabkan
adanya perbedaan getaran (dan diinterpretasikan sebagai bunyi, pen), dalam
kondisi temperatur normal, molekul udara bergerak atau bergetar dengan
kecepatan 450 sampai dengan 500 meter per detik[8][8].
b.
Durasi (note value, time), yaitu waktu yang dihabiskan dalam
membunyikan nada, atau dapat dikatakan “seberapa lama nada itu dibunyikan”. Ada
nada yang dibunyikan sebentar, bahkan kurang dari satu detik, ada yang lebih,
bahkan lebih lama lagi.
c.
Harmoni, yaitu soal
kesesuaian (kenyamanan dengar) antara nada yang satu dengan yang lainnya saat
dibunyikan bersama. Termasuk pembahasan irama atau ritme.
3. Tujuan dan Ruang Lingkup
Dari segi musikologi akustik, obyek pembahasan ini adalah musik
tradisional Banten, yaitu berciri menggunakan tangga-nada pentatonis pelog dan slendro. Termasuk mengkaji alat-alat musiknya dan sebarannya di
masyarakat Banten.
Tujuan pembahasan ini adalah pertama untuk mengetahui sejarah kemunculan musik pentatonik melalui masyarakat pendukungnya, yang kedua untuk mengetahui asal-usul manusia
melalui hipotesis pada aspek etnomusikologi sebagaimana ditengarai oleh Arisiyo
Santos.[9][9]
4. Tangga Nada Diatonis dan Sejarahnya
Tangga nada diatonis, terdiri dari “do re mi fa sol la si
do”, atau disimbolkan dengan angka : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7. Dinamakan Diatonic
/diatonis (di=dua, tone=suara) karena interval (jarak) antar nada ini
didominasi oleh dua halftone[10][10].
Lagu-lagu populer[11][11] menggunakan tangga nada ini. Mengenai tangga nada diatonik ini, Christine
Ammer menyatakan “Pertaining to or
containing the notes that make up an octave containing five whole tones and two
half tones. Both the major and minor scales are diatonic, as are the CHURCH
MODES. “ (Ammer, 2004:107), yang berarti “Terkait dengan nada-nada dalam satu oktaf yang terdiri dari lima nada
penuh dan dua nada setengah”. Tangga
nada ini dipopulerkan oleh Guido de Arezzo (991 M) dengan teks angka arab.[12][12]
Tetapi jauh sebelumnya skala ini sudah digunakan, misalnya
pada lagu-lagu Yunus al-Katib al-Mansur
(Yunus bin Sulaiman bin Kurd bin Syahriar Abu Sulaiman, 765 M) dalam Kitab al-Aghani yang dihimpun oleh Abu’l-Faradj al-Isfahani, ada 10.000
halaman dan terdiri dari 100 lagu
terpopuler, dengan aksara Arab (mi, fa, shad, la, dst). [13][13]
Pada Dinasti Han (221 SM) di Cina sudah ada nyanyian
bernotasi huruf kanji.[14][14]
Lebih jauh kebelakang lagi, yaitu pada masa pra Aristoxenus (335 SM) sudah
dikenal Anhaemitonik Scale (slendro
termasuk dalam kategori ini), dan tangga nada diatonis dibangun dari dua struktur
tetrachord ( empat nada,
“fa-mi-re-do”), yang dijadikan pedoman membuat aulos[15][15]. Stefan Hagel
menyatakan bahwa struktur re-do-si-la-sol-fa-mi (systema ametabolon atau the
unmodulating system) juga adalah
temuan Aristoxenus.[16][16] Jadi, Guido bukanlah orang yang pertama.
Guido mengadaptasi
nama nada berdasarkan suku kata depan dari Hymne Saint John : Ut Queant Laxis/ Resonare
Fibris/Mira Gestorum/Famili Tuoram/Solve Polluti/Labii
Reatum/Sancte Ioannes. Dalam bahasa Inggris
dapat berarti: “So
that we your servants may freely sing of the wonders of your deeds, cleanse the
guilt from our polluted lips, Oh Saint John”.
5. Tangga Nada Pentatonis
Pentatonis berasal dari dua kata, pente atau
penta (yunani) = lima, dan tonos = nada. Yaitu tangga
nada yang terdiri dari lima nada, menurut Kamus Musik dari Christine Ammer,
tangga nada pentatonik (Pentatonic Scale) dibangun oleh lima nada, yaitu nada
C,D,F,G,A atau C,D,E,G,A. Di Indonesia, skala
pentatonik dikenal dua macam, yaitu pelog dan slendro, dua skala ini
berdasarkan pada gamelan yang tersebar di Jawa dan Bali (Michael
Tenzer, 1991). Berdasarkan data lapangan menunjukkan bahwa gamelan Pelog, berjumlah
5 nada (1,3,4,5,7),[17][17]
meski sebenarnya dalam kajian lokal lebih kompleks karena tangga nada
pentatonik tidak linear dengan diatonik. Maka Ajip Rosidi membuka peluang bagi
masyarakat awam untuk mengapresiasi musik jenis pentatonik ini menjadi lebih
sederhana.
Diatonis (7 nada)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
||||||
Slendro (5 nada)
|
1
|
2
|
3
|
5
|
6
|
||||||||
Pelog (5 nada)
|
1
|
3
|
4
|
5
|
7
|
Tabel 4: Skala
Pentatonis dalam tinjauan sistem musik Barat/diatonis (diolah dari berbagai
sumber).
Skala ini digunakan juga dalam komposisi-komposisi musik
Dvorak, Puccini, Debussy serta beberapa komposer lainnya. Menurut Dr. A.N.
Tucker, pentatonik yang dikenal dibarat sangat berbeda dengan yang ia dengar di
Sudan, disini lebih terdengar asli (khas, pen).[18][18]
Selain itu, nyanyian pada Ya Yueh
(Dinasti Han, 221 SM) terdiri dari nada
C,D,E,G,A (pentatonik).[19][19] Diperkirakan tradisi musikal ini dibawa ke Jepang dan
mengalami transformasi menjadi Gagaku, Noh, serta pada alat musik Shakuhachi,
Koto dan Shamisen. Semua berskala Pentatonik. [20][20]
Berikut ini contoh lagu pop daerah Nusantara yang berlaras
Pelog dan Slendro: 1. Gundul-gundul Pacul (Jawa Tengah, pelog), 2. Akang Haji
(Sunda, Pelog), 3. Janger (Bali, Pelog), 4. Cublak-cublak Suweng (Jawa Tengah,
Slendro), 5. Sajojo (Irian, Madenda), 6. Ole Olang (Madura, Slendro), 7. Cing
cang Keling (Sunda, Slendro).
6.
Sistematika
Menurut Sarmani (62), masih banyak gamelan di Banten hingga
saat ini digunakan dalam pertunjukan wayang golek maupun ubrug.[21][21]
Penulis juga menemukan data di lapangan bahwa alat musik tradisional lainnya
seperti calung renteng dan angklung buhun, juga nyanyian-nyanyian yang lekat
dengan budaya pertanian berlaras slendro.
Musik tradisional lazimnya dibuat, diwariskan, diajarkan
secara turun temurun, dari generasi ke generasi secara oral. Dari hal inilah penulis
tertarik untuk meneliti musik pentatonis ini. Untuk menemukan fakta dan data
itu, penulis mengumpulkan data berdasarkan:
1.
Aspek Organologi.
Yaitu alat musik pentatonik secara lebih spesifik pada sebarannya di dunia,
yaitu di Asia, Afrika, Eropa dan
Amerika. Di Asia diantaranya ialah di Indonesia, China, Korea, Philipina,
Thailand, Jepang dan India. Di Eropa, pada musik tradisional Celtic, di Amerika
terdapat di Peru. Demikian pula di Sudan dan Mesir Kuno.
2.
Aspek Sejarah dan
Mitologi. G.R. Elton dan Henry Pirenne dalam Yoseph Iskandar (2001) menyatakan
bahwa sejarah adalah hasil studi tentang
perbuatan dan hasil-hasil kehidupan manusia dalam masyarakatnya di masa
silam. Sejarah diungkap melalui disiplin ilmu Filologi, Epigrafi, dan Arkeologi.
Tak kalah pentingnya Ayatrohaedi yang menyatakan bahwa sumber sejarah lainnya
adalah tradisi lisan, dan hal ini dapat diartikan bahwa dalam pemahaman
masyarakat Sunda, sejarah itu berupa dongeng, cerita, tambo, legenda, mitos,
sasakala, pantun, wawacan, babad, dan sebagainya, dimana hal-hal tersebut masuk
dalam kategori karya sastra. Sejarah dan karya sastra memiliki pemisah yang
sangat tipis.[22][22]
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur,
observasi, dan wawancara lapangan di wilayah Banten.
GAMELAN
Gamelan (Jawa, gamel =
menabuh), alat musik yang ditabuh. Dalam
bahasa Bali gamel artinya menangani (Grolier, 2002:29). Gamelan
merupakan musik ensambel[23][23],
atau “orkestra Indonesia”[24][24], dimana gamelan dimainkan oleh lebih dari satu orang.
Secara sosial, keberadaan musik gamelan menunjukkan adanya suatu sistem
kemasyarakatan.
Gamelan merupakan alat musik satu set yang terdiri dari
beberapa alat musik, dari segi materi, Gamelan adalah alat musik yang terbuat
dari perunggu (gong, kenong, bonang, saron, gender dan sejenisnya), terbuat
dari kayu dan kulit (gambang, kendang/gendang), serta alat musik berdawai
sebagai ciri khas kebudayaan maju (celempung/siter, rebab).
Masyarakat Sunda menyebutkan gamelan sebagai Degung, yang
merupakan sebutan yang berasal dari dua kata ngadeg dan ageng (berdiri
dan megah), atau pangagung, yang
terakhir ini sangat erat dengan kebangsawanan/pangagung. Ini menunjukkan bahwa
gamelan/degung hanya dimiliki oleh kaum bangsawan. Berbeda dengan pemahaman
orang Belanda seperti yang dikutip oleh Ganjar Kurnia, bahwa dalam kamus
susunan H.J. Oosting, kata "De
gong" berarti “penclon-penclon
yang digantung”.
Jennifer Lindsay menulis bahwa Gamelan sangat erat kaitannya
dengan masyarakat di pulau Jawa, gamelan menunjukkan dinamika sosial dan
mengandung pesan moral yang mengarah pada pendalaman rasa terhadap peran
individu di dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Gamelan adalah “Cahaya bulan
dan air yang mengalir, murni dan penuh misteri bak cahaya bulan, Ia adalah
bentuk-bentuk yang diciptakan untuk pendengaran yang tak berlagu, sebuah
pernyataan akan eksistensi, seperti cahaya bulan yang menyebar melimpahi bumi”
demikian kata Leonhard Huizinga yang dikutip oleh Ruth T. Mcvey dalam bukunya
“Indonesia: Music and Theatre in Java and Bali (South east Asia studies Yale
University 1963)”.[25][25]
Semangat gotong royong tercermin dalam kesenian gamelan.
1. Penggunaan gamelan dan Sebarannya di Banten.
Permianan gamelan di Banten terdapat pada kesenian ubrug
dalam acara pernikahan atau khitanan, pentas-pentasnya tersebar di pedesaan
hingga ke pinggiran kota. Hingga saat ini, ada sejumlah gamelan yang masih
aktif digunakan di Banten Utara khususnya Serang Timur hingga ke Tangerang
Barat. Gamelan tersebut digunakan untuk pertunjukan ubrug, cokek, wayang golek,
wayang wong (ubrug dengan kostum wayang wong), dan wayang kulit (Cilegon).
Demikian pula di daerah Banten Selatan dan di masyarakat adatnya masih ada
beberapa set gamelan tua.
2. Sumber Sejarah Gamelan
Informasi yang dapat dikumpulkan soal sejarah gamelan
terdapat di data fisik baik arkeologis maupun benda lainnya, yaitu berupa
benda-benda peninggalan serta catatan-catatan pada batu (prasasti), lontar, dan
sebagainya. Karya sastra lisan (mitos,
legenda, dongeng) maupun tertulis (kitab/babad, literatur).
a. Mitologi Gamelan
Dalam mitologi Jawa, konon, disebutkan bahwa gamelan dibuat
oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka
167 (230 M).[26][26]
Semula hanya berupa gong saja, kemudian menjadi gamelan.[27][27] Tetapi menurut Lindsay (1992) maupun dalam Bulletin for National Museum of Canada
(Ottawa: April 1961:2), gong dibuat jauh sebelum
adanya agama Hindu, jauh sebelum dibuatnya Candi, oleh karena itu gamelan
bukanlah alat musik tradisional agama Hindu. Gamelan bentuk yang sekarang
merupakan warisan dari zaman Majapahit.[28][28] Asumsi sementara soal angka tahun sejarah pemunculan
gamelan adalah jauh lebih lama sebelum Era Saka.
Asumsi lain terkait dengan aspek ketokohan, yaitu Sang Hyang
Guru, Batara Guru atau Manikmaya, dalam
kitab dan babad ada Prabu Seth (Babad Tanah Jawa) atau Seth putera Adam A.S.
dalam Kitab Injil (Genesis 4:25). Istilah Sanghyang pun dipakai
dalam agama Hindu seperti pada mantra Puja Trisandhya dari Kitab Suci Weda,
diantara baitnya adalah:
“Om Sanghyang Widhi,
semua yang ada berasal dari Sanghyang Widhi baik yang telah ada maupun yang
akan ada, Sanghyang Widhi bersifat gaib,
tidak ternoda, tidak terikat oleh perubahan, tidak dapat diungkap, suci,
Sanghyang Widhi Maha Esa, tidak ada yang kedua.”
Istilah Sanghyang sudah ada sebelum masa Hindu-Budha, di
Banten ada dalam kepercayaan Sunda
Wiwitan. Dalam Babad tanah Jawa (Olthof, 2007) terdapat data geneologi
(silsilah) raja-raja Jawa. Dimulai dari Adam a.s., mempunyai anak Sis, beranak
Nurcahya beranak Nurrasa beranak Sanghyang Wening, beranak Sang Hyang Tunggal
beranak Sang Hyang Guru/Batara Guru, memiliki lima putera, dan satu puteri
yaitu Dewi Sri atau Nyi Pohaci, dan salah satu puteranya adalah Batara Wisnu
yang kemudian menjadi raja pertama di Jawa dikenal dengan Prabu Set.
Dalam naskah laporan Pangeran Wangsakerta dikabarkan pada era
Saka terdapat suatu masyarakat yang menganut kepercayaan (pitarapuja) yaitu “Sang Hyang”. Di pihak lain, predikat “Hyang
“hanya untuk Sang Hyang Tunggal saja, atau Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha
Mencipta. Dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, dipercaya bahwa kesempurnaan sukma
adalah bertemu dengan Sang Hyang Tunggal (Ali Fadillah dalam Joseph Iskandar,
2001 ).
Dalam cerita Plato berjudul Timaeus (360 SM), berisi filsafat
dan pemikiran plato yang dituangkannya dalam bentuk percakapan antara Timeaus
dengan Critias, di dalamnya banyak menyebutkan para dewa. Cerita-cerita serupa
ada pula pada mitologi Yunani, India, Cina, dan Jepang. Mitologi ini menarik
dikupas karena banyaknya faktor kesamaan makna.
Batara Guru, Sang Hyang Guru, para Dewa, memiliki tugas yang
spesifik, dan memiliki sifat-sifat manusia juga, dan memiliki hawa nafsu.
Misalnya kasus Batara Guru kawin “sirri”
dengan Putri Medang sehingga Batara Wisnu tidak tahu kalau Putri Medang adalah
ibu tirinya, kemudan ia mencintainya dan ingin mempersuntingnya.[29][29]
Dari sini dapat diasumsikan bahwa bisa saja yang
dimaksud dengan tokoh Batara Guru adalah
manusia biasa tetapi oleh karena ilmunya sehingga ia memiliki sifat-sifat mulia
layaknya Dewa. Kemungkinan lain tokoh tersebut adalah seorang pemuka
masyarakat, bisa sebagai seorang raja, kepala kampung, penghulu, pemangku adat,
atau semacamnya. Telah banyak raja-raja Nusantara sejak masa Salakanagara, Jawa
Tengah, Jawa Timur, hingga kembali ke Cirebon, banyak yang menggunakan gelar
Batara, Sang Hyang, dan semacamnya. Maka dapat diasumsikan bahwa para dewa itu
adalah manusia juga dan sejarah gamelan amat lekat dengan sejarah manusia.
b. Salakanagara
Dalam naskah Wangsakerta diceritakan sejarah kerajaan
Salakanagara dan Aki Tirem, serta peradaban awal sejak 1.600 tahun sebelum Saka
(Joseph Iskandar : 2001). Demikian pula
di masyarakat Banten pegunungan, terdapat cerita lisan Salakanagara bersanding
dengan mitos Aki Tirem. Penulis mempertimbangkan bahwa mitos merupakan dokumentasi
lisan atas peristiwa masa lalu, yang kemungkinan besar memang sengaja tidak
ditulis. Catatan lain terkait hal ini terdapat juga pada N.J. Krom dalam buku Het Hindoe Tijdperk (1938:121)
sebagaimana dikutip oleh Atja dan Edi S Ekadjati. Serta pada catatan Claudius
Ptolomy tentang Argyre (Sartono
Kartodirjo, 1975). Mereka telah memiliki banyak pengetahuan yang
diantaranya “membuat tabuh-tabuhan untuk
menari” sejak sebelum Era Saka.
c. Artefak
Bukti paling populer dan akurat soal adanya gamelan terdapat
di relief candi Borobudur (8 M). Adapun situs Sang Hyang Dengdek yang
dikonotasikan sebagai simbol Aki Tirem lebih tua dari Borobudur dimana lokasi
tersebut tidak jauh dari situs Batu Sorban, dan faktanya Gong tertua terdapat
di Banten (Ajip Rosidi, 2000:52). [30][30]
Relief Borobudur cukup memberikan gambaran masa perkembangan
gamelan, juga data organologis.
Gambar : Ilustrasi pertunjukan musik pada relief
Borobudur (http://www.wikipedia.com/musician borobudur.jpg)
Sang Hyang Dengdek dan Sang Hyang Heuleut, berlokasi di
Kecamata Cisata Kab. Pandeglang. Konon,
Sang Hyang Dengdek dan Sang Hyang Heuleut sepasang suami-isteri. Menurut Claude
Guillot (1994) Sang Hyang Dengdek adalah arca primitive tipe polinesia yang
menyandang nama ‘Dewa’ yang dipuja. Karena arca ini secara alami agak
membungkuk maka orang memberi namanya “si bungkuk yang terpuja “ (Claude
Guillot, 1994:100). Situs Batu Goong adalah
sebuah situs dimana menhir sebagai pusatnya dikelilingi oleh batu-batu yang
berbentuk gamelan atau gong, dan batu pelinggih dalam formasi batu gamelan
(Fadillah, 2002).
Menurut cerita masyarakat sekitar pada bulan Rabiul Awal,
batu goong ini mengeluarkan bunyi-bunyian seperti suara gamelan yang terdengar
hingga satu desa setempat.[31][31]
Demikian pula menurut Yadi Ahyadi dan Sofiyan (30) kuncen batu goong pada bulan
Maret 2011, sering terdengar gamelan pada hari Jum’at menjelang shalat Jum’at.
Diduga, situs Batu Goong awalnya tempat pembuatan gamelan, dimana dilakukan
ritual tapa bagi pembuatnya di dalam gua di sekitar kali kecil. Di dalam gua tersebut terdapat batu patapaan yang
berbentuk datar dan terdapat bekas kaki dan bokong orang bertapa, demikian
menurut keterangan Sofiyan. Sebelum dan sesudah bertapa, pawang gamelan
tersebut mandi di kolam citaman, baru kemudian membuat gamelan. Ritual tapa
merupakan ritual pemurnian jiwa dan membantu membangun rasa untuk menghasilkan
suara gamelan yang merdu.
Situs ini berbeda dengan arca Hindu-Budha yang disimpan di
Museum Pusat sebagaimana laporan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang
pada tahun 2007. Diperkirakan situs-situs Megalitik berada pada rentang waktu
8000–550 SM. Situs-situs
megalitikum itu secara umum berfungsi
sebagai, tanda batas teritorial, monumen suatu peristiwa, atau, sesuatu yang
berkaitan dengan agama/kepercayaan (kuburan tokoh, dan tempat pemujaan).[32][32] Dalam catatan lain dinyatakan bahwa pada
6.000 SM telah ditemukan emas, bahkan sejak periode ini telah digunakan
teknologi peleburan emas, namun selanjutnya oleh karena emas terlalu lunak,
orang-orang kemudian beralih ke tembaga (copper)
setelah ditemukan, jika digabungkan data tersebut, maka dari sinilah periode
Kalkolitik dimulai. Selanjutnya ditemukan timah yang dibuat campuran dengan
tembaga sehingga menjadi perunggu, masa ini masuk pada Periode Perunggu (Bronze Age). Dalam catatan lain, periode
perunggu dimula pada 3800 SM. Baru kemudian ditemukan Besi (Iron). Selain itu, di Indonesia
telah ditemukan sejenis alat cor logam di sekitar Dago Bandung yang menurut
penelitian van Bemmelen (peneliti Belanda) usianya telah mencapai 125.000
tahun. Hal itu berarti sejak zaman prasejarah orang Sunda telah memiliki
keterampilan teknologi logam (alat tersebut kini tersimpan di Musium Geologi
Bandung).[33][33] Sedangkan gong
yang tertua terbuat dari bahan perunggu, demikian pula Jennifer Lindsay, gong
bukanlah berasal dari kebudayaan Hindu-Budha, melainkan jauh sebelum itu. Ini
menggambarkan bahwa kepercayaan kepada Sang Hyang merupakan kepercayaan sejak
masa megalitikum, jauh sebelum agama Hindu dan Budha. Dipercaya bahwa roh nenek
moyang merupakan perantara yang menghubungkan generasi dahulu dengan sekarang,
serta kepada dewa-dewa(Sang Hyang), yaitu sumber kekuatan spiritual yang
memiliki kekuatan pada bumi, tanah, dan air, tradisi ini pada setiap daerah
memiliki masa awal yang berbeda-beda, tetapi umumnya dimulai sejak 6000 – 2000
SM (Fadillah,2002:40). Adapun artefak yang dekat dengan gamelan adalah situs
Batu Sorban. Ukuran Batu Sorban berdiameter 30 cm, dan ketebalan 10,5 cm.
Penulis memandang bahwa bentuk batu tersebut lebih mirip gong besar ketimbang
sorban.
Berdasarkan paparan sejarah dan mitologi diatas, sampai
disini penulis dapat menarik hipotesis sebagai berikut:
1. Dalam mitos disebutkan
Sang Hyang Guru, sedangkan sebutan Batara Guru muncul belakangan, dan
kepercayaan kepada Sang Hyang sudah ada sejak 6000-2000 SM (zaman megalitikum).
2. Catatan mengenai
perunggu sudah ada sejak 3800 tahun SM, dan berdasarkan Pendapat Jennifer
Lindsay, diperkirakan Gong sudah ada sebelum masa Hindu-Budha.
3. Atlantis (dan Fahmi Basya?)
Atlantis dipercaya berada di Indonesia, tepatnya berpusat di
lokasi Gunung Krakatau sekarang, Atlantis dipercaya sebagai peradaban awal
manusia di bumi.
Dalam ranah etnomusikologi yang menjadi obyek pembicaraannya
adalah musik Non-Barat. Pada abad 19 orang beranggapan bahwa musik non-barat
amat aneh dan belum menanggapinya sebagai musik secara serius. Muncul pula
istilah “Exotic Music” berdasarkan cara pandangan mereka atas musik di Timur.
Ada satu kesimpulan yang menyatakan bahwa musik-musik barat banyak terpengaruhi
oleh musik-musik non-Barat, ini terlihat pada musik pop seperti raga, rock, dan
reggae, serta pada musik-musik serius seperti terdapatnya tangga nada
non-Barat, alat musik, serta jenis irama.[34][34]
Kembali kepada pernyataan awal, bahwasanya pembicaraan musik
tentu tidak terlepas dari kebudayaan dimana musik itu muncul. Kenyataan lainnya
bahwa satu kebudayaan dengan kebudayaan lain telah terjadi kontak dan
akulturasi serta asimilasi. Kesimpulan ini memperkuat bahwa telah terjadi
hubungan historis terkait asal usul umat manusia dengan Atlantis. Pembahasan
mengenai Atlantis telah banyak ditulis dari berbagai sudut pandang, baik ilmiah
maupun non ilmiah. Pertama, Stephen
Oppenheimer dan Arisiyo Santos
menyatakan lokasi Atlantis ada di Indonesia. Santos berpedoman pada penjelasan
Plato dalam percakapan Timaeus dan Critias, didukung dengan data penelitian di
berbagai bidang keilmuan (Santos, 2011:30). Sudah cukup banyak buku dan
terjemahan soal atlantis, bahkan di beberapa grup jejaring sosial terdapat
banyak laporan fisik keberadaan peradaban masa lalu Atlantis.
Santos secara khusus meneliti Atlantis lebih mendalam
berdasarkan aspek penting yang dikatakan Plato, aspek-aspek tersebut ialah:
Benua yang terrendam, beriklim tropis, keberadaan gajah, kuda, buah nanas, kelapa
dan pisang, kaya akan logam dan batu permata yang beragam, gunung yang
megah, hamparan yang tenggelam,
pertanian dan teknologi hidrolik, jaringan parit untuk irigasi dan navigasi,
dua sampai tiga kali panen dalam setahun, musim penghujan, populasi yang besar
di masa-masa awal, gunung berapi dan gempa bumi, keahlian navigasi, bangunan
megalitik, perdagangan trans-samudera, wewangian dan dupa, simbol-simbol
sakral, era pemunculan manusia, pilar herkules, banyak pulau, golongan darah,
tulisan dan abjad.
Dari sini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud Atlantis adalah Nusantara, yaitu peradaban
tertua di bumi.
Kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan manusia, dimana musik adalah bagian dari kebudayaan itu, maka
berbicara musik juga akan berbicara masyarakat pendukung musik tersebut. Musik
tradisional di setiap masyarakat memiliki kekhasannya masing-masing, demikian
pula masyarakat pendukungnya tentu memiliki ciri khas masing-masing, mitologi,
filosofi, serta kepercayaannya. Oleh karena itu, warisan atlantis yang tersisa
dapat diidentifikasi berupa kearifan-kearifan yang terdapat pada
pranata-pranata kebudayaan. Diantara pranata itu ialah sistem kepercayaan,
kesenian, dan kemasyarakatan.
1. Urang Kanekes
Orang Baduy sendiri
menyebut dirinya Urang Kanekes atau Urang Rawayan[35][35].
Kanekes adalah nama desa di lereng
gunung Kendeng kabupaten Lebak, Banten Selatan.
Menegnai asal-usul
nama Baduy terdapat tiga pendapat, pertama dari Roo De La Faillo, menyebutkan
bahwa kata Baduy berasal dari kata Wadwa
atau Wadya, hal ini berdasarkan hasil
hipotesisnya bahwa orang Baduy adalah tawanan perang Sunan Gunung Djati. Wadwa berarti kelompok, tentara, bawahan.
Yang kedua dikatakan oleh Blume dan disetujui oleh Spanoge, Baduy menurut Blume
adalah Budha, atau dari nama sungai Cibaduy. Yang ketiga dikeluarkan oleh
W.R.Van Hoeven menyatakan bahwa baduy berasal dari bahasa Arab Badu/Badawi yang berarti padang pasir.
Kata ini disematkan pada urang Kanekes karena keengganan mereka untuk memeluk
agama Islam; dan kemudian menyamakan mereka dengan suku Badwi di Arab. Demikian
menurut Suria Saputra pada naskah 5, 1950 (Helmi 2010:47).
Kemudian Suria
Saputera juga mengajukan teori (sintesa) bahwa akar kata Baduy adalah Waluy yang berarti kembali ke asal.
Perubahan W menjadi B biasa terjadi pada kata welas menjadi belas, watu menjadi batu, rewu menjadi rebu (ribu). Juga perubahan L menjadi D,
seperti pada kata babal menjadi babad(menebas), euleuh menjadi eudeuh
(hal), sabda menjadi sabla (sabda). Kata Bali juga memiliki
akar yang sama, yaitu wali, berakar dari kata waluy dengan bentuk antaranya adalah walwi. Dari bentuk Waluy
atau Walu, dapat juga berubah menjadi
kata walu. Istilah Kawalu di Kanekes
berasal dari kata ini-bukan dari kata kawolu
(delapan)-, kemudian dalam bahasa Sunda (baik Sunda umum maupun yang ada di
Kanekes) ada kecenderungan menghaluskan kata dengan mengganti suku kata yang
terakhir dengan ten, misalnya saniskara menjadi saniskanten (segala), sora
soara menjadi soanten (suara), sore menjadi sonten (petang). Maka kata bali
dapat dihaluskan menjadi banten, wali menjadi wanten, dan menurut Helmi dapat juga menjadi wahanten, sehingga dapat merujuk pada kerajaan Wahanten Girang di Serang. Dengan demikian, menurut Suria Saputra,
kata waluy, baduy, wali, bali, walu, banten, dan banten berasal dari induk kata yang
sama, yang memiliki arti (yang bersifat
spiritual) yang sama, yaitu (manusia) kembali kepada asalnya (wiwitan-nya) (Helmi, 2010:48).
Keterkaitan lain
antara Bali dengan Baduy yaitu berdasarkan laporan Yadi Ahyadi (2010), bahwa
seorang sarjana Hindu telah melakukan penelitian di India menyimpulkan bahwa
asal-usul agama Hindu dari Indonesia, yaitu di Banten. Urang Kanekes sendiri
tidak beragama Hindu melainkan agama Sunda Wiwitan. Abanten dalam bahasa Bali berarti sesajen, tempat suci, dimana para
Pandhita, Karesian, terpusat disana, maka Banten adalah juga “Mandala”. Hal ini
pula memperkuat asumsi bahwa Banten turut berperan penting dalam membentuk
identitas nasional Indonesia.
Menurut Helmi, bahwa
dari beberapa masyarakat adat Sunda di Indonesia, Urang Kanekeslah yang paling
kuat memegang teguh adat leluhurnya (2010:9). Filosofi dalam kepercayaan dan ritual Urang Kanekes sangat mirip dengan
kepercayaan orang Atlantis sebagaimana dideskripsikan oleh Plato. Ini memancing
penulis untuk mengambil hipotesis bahwa Banten sebagai asal mula peradaban
manusia.
Urang Kanekes
menyebutkan bahwa tanah adatnya merupakan inti jagat. Keyakinanan itu muncul
dari pandangan mereka bahwa disanalah alam semesta ini bermula, dan disana
pulalah manusia pertama diturunkan ke bumi. Titik Sakral sebagai inti jagat
mereka terletak di Gunung Pamuntuan. Di atasnya terdapat bangunan punden
berundak yang mereka sebut Sasaka Pada
Ageng[36][36]. Pada punden
tertinggi terdapat menhir yang mereka sebut Sasaka
Pusaka Buana.
Sasaka Pusaka Buana adalah nama menhir yang ada pada punden
ke 13 (punden puncak) dari punden berundak Sasaka
Pada Ageung di wilayah tangtu.
Disinilah tempat alam semesta bermula, dan tempat Batara Tunggal menurunkan
tujuh Batara, dianataranya Batara Cikal yang menurunkan Urang Kanekes dan agama
Sunda Wiwitan sebagai manusia pertama dan agama pertama. Oleh sebab itu, wilayah
kanekes merupakan wilayah inti jagat atau poros alam semesta yang harus tetap
dijaga demi kelangsungan hidup alam semesta beserta isinya. Pelaksanaan tugas
ini berbentuk muja atau pensucian Sasaka Pusaka Buana pada tanggal 16-18
bulan Kalima. Mencakup juga penjagaan
ekstra ketat dari penodaan inti jagat ini, inilah daerah paling terlarang di
Kanekes termasuk bagi orang Kanekesnya sendiri kecuali orang-orang tertentu
saja.
Selain itu, menurut
Saleh Danasasmita, urang kanekes bukan pelarian Pajajaran atau orang primitif.
Melainkan para resi seperti yang tercantum dalam prasasti yang dikutip oleh
Nina H. Lubis dan Helmi dalam Prasasti nomor E.43 yang berisi amanat menjaga
wilayah untuk para pandita.
2.
Sisa-sisa
Kesenian Banten Sebagai Bukti Kepurbakalaan Banten
Berdasarkan paparan sejarah diatas,
pasca Atlantis, yaitu sekembalinya migrasi penduduk atlantis ke Nusantara,
dapat diasumsikan alat musik yang pertama dibuat menggunakan materi bambu yang
hingga sekarang tersisa sebagai Angklung Buhun, Calung renteng, dan gamelan
renteng.
Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara penulis dengan beberapa tokoh/pelaku kesenian tradisi di berbagai
tempat dan waktu berbeda didapat sisa-sisa kesenian tradisional yang masih hidup
hingga sekarang dan belum dilakukan penelitian secara mendalam terhadap mata
kesenian tersebut. Perlu pengkategorian berdasarkan keaslian (asli) atau hasil
asimilasi (asupan). Kategori kesenian asli dipandang berdasarkan usia kesenian
tersebut sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Budha maupun Islam. Sedangkan
kesenian asupan adalah kesenian yang sudah berasimilasi.
Sebagian lagi dari jenis-jenis kesenian Banten juga telah
dikembangkan dan dipopulerkan sebelum dibentuknya Propinsi Banten. seperti
Jaipongan yang berasal dari Banten dari Rampak Tari Ibing (geblak -di Jawa Barat). Di Banten sendiri disebut nandung/sempilan (ngigel =
menari) dari salah satu pertunjukan musik pembuka dalam pentas Ubrug.[37][37]
Terdapat pula nama kampung Panayagan dan Kidalang di Kecamatan Bandung, serta
terdapat makam Nyi Tandak di sekitar banten Girang.
a. Angklung Buhun Berskala Pentatonik
Angklung buhun (buhun=tua, Sunda), ukurannya lebih besar dari
angklung modifikasi Daeng Sutigna dan Udjo Ngalagena (Jawa Barat). Angklung
buhun disebut Angklung Buncis di
Arjasari Bandung, Angklung Gubrag di
Cipining kabupaten Bogor, Angklung Bungko
di desa Bungko Kabupaten Cirebon, Badud
di Cijulang Kabupaten Ciamis, Angklung
Dogdog Lojor di Ciptarasa Kabupaten Sukabumi, dan Angklung Mayangsari di kampung pulo Ciruas Kabupaten Serang, Dodod di Mekarwangi Kabupaten
Pandeglang. (Dinda, 2001:3 dan 59).
Mengenai asal usul angklung buhun harus merujuk pada
masyarakat adat Baduy (Kanekes). Adat istiadat dalam masyarakat Baduy sarat
dengan filosofi, mitologi dan kosmologi, dapat dibilang lengkap (Helmy,2010).
Jika merujuk berdasarkan keberadaan masyarakat Baduy, maka angklung buhun
adalah kesenian asli Banten. Usianya sama dengan usia masyarakat Baduy, begitu
juga aktifitas pertaniannya, jauh lebih tua dari Hindu-Budha maupun kesultanan.
Angklung buhun berskala pentatonik Slendro.[38][38]
Masyarakat Baduy menggunakan angklung untuk ritual padi
dengan kepercayaan akan hadirnya Nyi
Pohaci Sanghyang Asri (Dewi Padi), suara angklung merupakan manifestasi
suara alam yang bermakna bahwa manusia adalah bagian dari alam. Angklung masih
digunakan oleh masyarakat Jawa Barat dan Banten hingga masa kini. Menurut
keterangan Nedi Suryadi, bahwa pada 1984, di Cikaraton Malingping Kabupaten
Lebak Banten, saat bulan Ramadhan, yaitu menjelang sahur, para pemuda memainkan
angklung dengan berkeliling kampung, di Cikaraton, kini tinggal hanya seorang
saja yang mampu membuat angklung. Sedangkan di Menes Kabupaten Pandeglang
Banten, pada sekitar tahun yang sama ritual ngaseuk
diawali dengan membuat nasi tumpeng, namun permainan angklung sudah tidak ada
lagi sesuai keterangan Munawir Syahidi warga Menes. Dengan demikian, angklung
Buhun merupakan alat musik tertua di Banten.
b. Rudat, Terebang Gede, Zikir Saman, Beluk dan Suling Buhun.
Rudat merupakan jenis kesenian asupan, ia lahir dari pengaruh
Islam. Rudat berasal dari kata Raudhah yang berarti “taman bunga” (Arab),
muncul di Banten sejak adanya dakwah Islam dengan cara melantunkan
puji-pujian/solawat dan syair-syair Syaikh Ja’far al-Barzanji. Rudat dan
Terebang Gede menggunakan alat tabuh membranphone,
yaitu sejenis ketimpring (rebana)
atau terebang, pada Rudat terdapat
simbal kecil di sisi-sisinya.[39][39]
Rudat sudah banyak terlihat pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa (Abad 16M). Rudat tidak terlepas dengan tarekat. Demikian
pula terebang gede tidak terlepas dari tarekat, digunakan untuk mengiringi
atraksi Debus, Bandrong dan Terumbu (seni bela diri), dan sebagainya. Baik pada
Zikir Saman, Beluk , Terebang Gede, maupun Rudat terdapat lagu-lagu tua mereka
(vokal) berpola pentatonik slendro. Pada Rudat pukulan singkop (syncope),
misalnya pada lagu “Nulban, Kapal Berlayar, Ilahinas” dan sebagainya. Sudah
banyak dari kesenian banten ini mengalami inovasi (sementara tradisi klasik
tetap dipertahankan) dan berkembang sehingga memiliki motif-motif lokal jawa,
sunda, serta melayu. Terdapat enam jenis pukulan (style) Rudat, tetapi baru empat macam pukulan yang telah dipelajari
oleh grup Rudat Sukaraja di generasi mutakhir (2010). Grup rudat rata-rata
berjumlah 12 orang (ensambel), oleh karena itu perbedaan cara memukul bagi
masing-masing personilnya menghasilkan efek bunyi yang menciptakan jenis
pukulan yang berbeda-beda. Ada enam jenis pukulan iringan, empat diantaranya
adalah Kontrengan, Koprok, Tratean, dan Rudat, serta dua pukulan klasik lainnya masih sedang digali.
Pada zikir saman terdapat gaya vokal falsetto sebagaimana digunakan pula dalam beluk, berlaras slendro,
misalnya lagu “Asrakal” yang diiringi acapella
layaknya suara kendang dan gamelan. Kesenian ini diduga kesenian tua
berdasarkan pola pentatoniknya, namun terdapat pola lain yang terdengar
sekarang sudah dipengaruhi Islam.
Pada suling buhun diantaranya terdapat lagu “Ear-ear kotok” dan “Jalan” yang merupakan
permainan suling tunggal, suling ini lebih khas pada lagu-lagu yang berlaras
slendro (lagu Jalan) dan lebih terasa buhunnya, sedangkan lagu “Ear-ear kotok”
berlaras pelog. Uniknya, suling ini terbuat dari kayu (bukan bambu) dengan
empat lubang. Sling buhun lebih berkesan profan berdasarkan tema lagu yang
dibawakan, namun pola pentatoniknya menunjukkan kesenian ini cukup tua.
Demikian pula pada calung renteng, terdapat lagu “Lutung Kasarung, Kebo Jiro,
sleweran” yang berisi pantun-pantun jenaka, calung renteng asli merupakan
calung yang digantung menggunakan tambang, dalam satu set ada dua buah calung
yang berukuran berbeda dan bernada sama dengan laras slendro. Diduga calung ini
sebagai cikal bakal gamelan, yang konon di wilayah Banten dahulu terdapat
gamelan renteng. Kesenian-kesenian ini tersebar di seluruh wilayah administrasi
Banten.
C. Kesimpulan
1. Musik Banten adalah
asal usul musik dunia berdasarkan kajian Atlantis dan kearifan orang Baduy.
2. Musik Banten secara
organologis adalah: Angklung Buhun,
Calung Renteng, Suling Buhun, Beluk, Gamelan, serta Kecapi.
3. Musik Banten
berdasarkan kategorisasi tangga nada (secara teknis, musikologi) berpola pentatonik,
ini juga terdapat pada sistem vokal tanpa instrumentasi.
[2][2] Santosa, Aton Rustandi Mulyana, Zulkarnain Mistortoify; Etnomusikologi Nusantara: perspektif dan masa depannya, 2007, halmana 16.
[3][3] Lindsay, Jennifer: Javanese gamelan: traditional orchestra of Indonesia, Oxford University Press, 1992, halaman 40.
[4][4] the University of Michigan, Gamelan pakurmatan Kraton Yogyakarta, Taman Budaya Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, 1993, halaman 2.
[7][7] Christine Ammer, 2004, The
Facts on File Dictionary of Music, halaman 262. British menyebut “nada”
dengan “note”, sedangkan Amerika adalah “tone” untuk menyebutkan nada sebagai
bunyi (audio), dan “note” sebagai
lambang nada (tekstual).
[8][8] Dave Benson, 2004, Mathematic and Music, Departement of Mathematics, University of
Georgia, Athens, USA, halaman 1.
[9][9] Santos, Arisiyo, 2011 :Atlantis:The Lost
Continent Finally Found, Atlantis Publication 2005, halaman 67.
[10][10] Halftone adalah interval setengah nada,
sebelumnya satuan terkecil nada
menggunakan microtone, kemudian
terjadi perubahan dan menghasilkan kesepakatan untuk menggunakan dua macam
saja, yaitu satu nada (wholetone),
dan setengah nada (halftone). Jadi,
jika menggunakan satuan halftone, maka tangga nada diatonis berarti didominasi
oleh halftone x 2.
[11][11] Istilah “populer” berkonotasi pada sesuatu yang
bersifat popularitas, temporal (tidak lama), dan lokal (di tempat tertentu
saja). Misalnya suatu grup band populis dalam tiga bulan saja, dan di satu
negeri saja, biasanya hanya berorientasi pada industri.
[12][12] Seorang Pendeta yang lahir di Prancis, kemudian
tinggal di Arezzo, sebuah kota di Italia, konon ia mengembangkan teori notasi
Boethius.( Christine Ammer: Dictionary of
Music,halaman 168)
[13][13] Yunus bekerja untuk Al-Zubair bin al-Awwam di bagian
administrasi pemerintahan di Madinah, atau Amr bin al-Zubair yang ayahnya
seorang pakar hukum (fakih) dari Persia (sekarang Iran). Yunus ahli menulis
(al-katib), ia mahir menyanyi dan membuat puisi. Ia belajar musik kepada empat
orang penyanyi, pada 724 – 742 ia
menjadi langganan untuk menghibur Walid
bin Yazid di Syria, dan menginap selama tiga hari dengan upah yang layak.
Sekembalinya ke Madinah, salah seorang sahabatnya Ibnu Ruhaima membuat puisi
tentang kecantikan Zainab (putri Ikrimah bin Abdul Rahman bin al-Harits bin
al-Hisyam), Yunus memainkan musiknya untuk puisi tersebut dalam satu acara yang
pribadi, namun akhirnya terdengar juga
di masyarakat luas hingga ke telinga keluarga Zainab yang membuatnya marah,
demikian pula Kekhalifahan nemberikan peringtan kepadanya, atas karyanya itu
gubernur Madinah memberinya hukuman masing-masing 500 cambukan untuk pembuat puisi
dan musiknya. (Encyclpedia of Islam,
1913-1936, Martijn Theodoor Houtsma, vol
2, halaman 175).
[15][15] Aulos adalah alat musik tiup ganda, pola permianan
aulos mirip dengan permianan alat musik tradisional orang Irlandia, yaitu bagpipe, terdapat beberapa contoh
permianan aulos di Youtube.com.
[16][16] Hagel, Stefan, 2009; Ancient Greek Music, a New Technical History, Cambridge University
press, Halaman 6
[18][18] A. N. Tucker, 1933, Tribal Music
and Dancing in the Southern Sudan (Africa) at Social and Ceremonial Gatherings (London: William Reeves), Hal 55.
[20][20] Ibid, 232. Musik kerajaan yang sudah populer sejak
Periode Hein (794-1192 M), musik ini asli dari Cina dengan nama To-gaku, dan di
Kore dikenal Komagaku, musik jenis ini dimainkan secara instrumentalia (tanpa
vokal).
[21][21] Hasil wawancara dengan Sarmani usai acara peluncuran
dan bedah buku “Ubrug, Tontonan dan Tuntunan” pada 27 Oktober 2010 di
Perpustakaan dan Arsip Daerah Banten di Serang.
[25][25] Jennifer Lindsay, 1992, Javanese Gamelan: Traditional Orchestras of Indonesia, Oxford University press,
Oxford New York. Halaman 2.
[27][27] R.T. Warsodiningrat, Serat Weda Pradangga. Dalam Roth, A. R. New Compositions for Javanese Gamelan. University of Durham, Thesis doktoral, 1986. halaman 4.
1992. halaman 6.
[29][29] Dalam cerita pewayangan tedapat banyak versi, baik
dipandang dari sudut letak geografis cerita, maupun karena pengaruh budaya dan
agama-agama yang datang kemudian.
[30][30] Ajip Rosidi, Ensiklopedi
Sunda (Alam, Manusia dan Budaya, termasuk Cirebon dan Betawi), Pustaka
Jaya, 2000, halmana 52.
[35][35] Rawayan = Jembatan, Keturunan, (Glosarium dalam Helmi
Faizi Bahrul Ulum, 2010, Ngareksakeun
Sasaka Pusaka Buana: Pandangan Etika Urang Kanekes Tentang Hubungan Manusia
Dengan Alam, UGM Yogyakarta, Disertasi Doktoral.
[39][39] Wawancara dengan Asep Sukaraja pimpinan Rudat
Sukaraja, Kampung Baru Serang, dalam suatu latihan untuk persiapan Konser
Gotun.