SYEKH SITI JENAR
Oleh: Purwo Rubiono, S.Ag.
(Tinjauan terhadap artikel Dedi E. Kusmayadi “Asal Usul Syekh Siti Jenar, serta keterkaitannya dengan filosofi Semar Badranaya dan dalam Teosofi New Age)
Nama
Sayyid Hasan 'Ali Al Husaini dengan gelar Syekh Abdul Jalil, Julukan Siti Jenar (siti=tanah, Jenar=merah) ini karena beliau mulai populer ketika bermukim dan berdakwah di pedukuhan Lemah Abang, Desa Caruban, Cirebon. San Ali merupakan nama kecilnya. [2] Terdapat versi lain yang menamai beliau dengan Sunan Jepara, namun kurang didukung dengan data sezaman maupun sumber wawancara. Menurut hemat Penulis, Kadipaten Jepara hanya menunjukkan keterkaitan dengan kekuasaan Kesultanan Demak .
Asal-usul
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M. [1] Ada dua versi tentang asal usul Syekh Siti Jenar, yaitu yang pertama mengatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW, dan yang kedua mengatakan berasal dari Jawa yaitu Jepara. Namun menurut hasil pengamatan singkat penulis adalah versi yang pertama, ini dikarenakan sumber data kuat secara literatur maupun berdasarkan wawancara dengan beberapa nara sumber praktisi spiritual.
Maka asal-usul Syekh Siti jenar sebagai berikut:
- Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputera
- Husain r.a, berputera
- Ali Zainal Abidin, berputera
- Muhammad al-Baqir, berputera
- Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera
- Ali al-Uraidhi, berputera
- Muhammad al-Naqib, berputera
- Isa al-Rumi, berputera
- Ahmad al-Muhajir, berputera
- Ubaidillah, berputera
- Alawi, berputera
- Muhammad, berputera
- Alawi, berputera
- Ali Khali' Qosam, berputera
- Muhammad Shahib Mirbath, berputera
- Sayid Alwi, berputera
- Sayid Abdul Malik, berputera
- Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
- Sayid Abdul Kadir, berputera
- Maulana Isa, berputera
- Syekh Datuk Soleh, berputera
- Sayyid Hasan 'Ali Al Husaini (Syekh Abdul Jalil/Syekh Siti jenar) [1,2.]
Karya-karya Syekh Siti Jenar
1. Talmisan,
2. Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan
3. Balal Mubarak.
Perjalanan Keilmuan
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.[8]
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yang sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dengan ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh Datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yang saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dengan Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nurjati, pen), telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dengan pendidikan otodidak bidang spiritual.
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yang berpusat di Cirebon.
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yang akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dengan pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dengan usia sekitar 17-an tahun.
Belajar Dengan Para Petapa
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertamanya adalah Pajajaran yang dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.[8]
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak ada lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia.
Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan.
Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dengan Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu degan “Aku”.
Keempat, nirasraya, suatu keadaan jiwa yang meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yang bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar (Aria Abdillah/Jaka Dilah/Swan Liong) antara tahun 1448-1450 M. San Ali mempelajari hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (Cahaya Maha Cahaya), atau yang kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.
San Ali ke Malaka dan banyak bergaul dengan bangsawan suku Tamil dan Malayu. San Ali menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tersebut dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yang oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh Jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dengan Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yang menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran).
Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yang dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai titik tolak pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-Nya yang bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-Nya di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yang nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dengan Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtami (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.
Syekh Siti Jenar adalah yang pertama mengusung gagasan al-Hallaj dan al-Jili di Jawa. Sementara itu Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yang kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa.
Kitab sufi yang paling berkesan bagi Syekh Siti Jenar adalah kitab:
- Haqiqat nal-Haqa’iq,
- al Manazil al Ilahiyah dan
- al Insan al Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir).
Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak karya dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili. Dari kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yang memiliki ujung pemahaman yg mirip dengan secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dengan al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yang terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yang akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yang banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yang terkenal adalah al Qawwal dengan penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yang menyelubunginya telah tersingkap. Dengan ini seseorang akan menjadi berbeda dengan umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yang membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dengan sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yang berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (maha suci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yang di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tersebut mengalami nasib yang baik, ajarannya tidak dipolitisasi.
Kematian Syekh Siti Jenar
Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini menebabkan Syekh Siti Jenar harus menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat menghukum mati Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Yaitu Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
Dari cerita orang-orang di Demak menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain, ada juga yang mengatakan di Cirebon.
Versi Lain
Menurut beberapa sumber dan wawancara dengan praktisi spiritual, Jenazah Siti Jenar menghilang ketika menjelang disemayamkan, dan di tempat persemayaman itu hanya tertulis lafaz “La Ila Ha Illallah, innalillahi wa inna ilaihi raji’un”.
Semar
Semar Badranaya memiliki arti “mengemban sarana untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk kesejahteraan manusia”
Semar adalah tokoh dalam pewayangan yang menjadi mitos di masyarakat Nusantara, Semar merupakan perwujudan dari (Dewa) Batara Ismaya yang bersemayam di Kahyangan. Semar merupakan perwujudan fisik di dunia nyata, Semar juga pengejawantahan dari Manunggaling Kawulo Gusti, dimana, hamba dan sifat Tuhan bersatu. Maksudnya adalah bahwa perwujudan setiap hamba (manusia) tidak terlepas dari keterlibatan Tuhannya, baik itu takdirnya, geraknya, rizkinya, dan sebagainya.
Untuk memahami hal tersebut dibutuhkan kepekaan batin, kesadaran batin yang dapat ditempuh melalui latihan-latihan seperti melakukan puasa secara hakiki, yaitu puasa lahir dan batin. Ini untuk membuka tabir penghalang antara hamba dan Tuhannya, dimana tabir tersebut adalah berupa ego/nafsu. (dari berbagai sumber)
Teosofi New Age
Zaman Baru atau Gerakan Zaman Baru (
Inggris: New Age) adalah suatu gerakan spiritual yang terbentuk di pertengahan abad ke-20. Merupakan gabungan dari spiritualitas Timur, dan Barat, serta tradisi - tradisi
metafisika yang mengemukakan suatu
filsafat yang berpusatkan kepada
manusia.
Gerakan ini mulai dikembangkan dengan munculnya latihan-latihan pengembangan diri, seminar pengembangan diri,
yoga,
waitankung, seminar kata-kata motivasi, dll.
Tujuannya untuk menciptakan sebuah "spiritualitas yang tanpa batasan atau dogma-dogma yang mengikat". Dengan menekankan bahwa Pikiran, Jiwa, dan Raga saling berhubungan, serta adanya bentuk
Monisme dan kesatuan di dalam alam semesta. Lebih jauh gerakan ini mencoba menciptakan "suatu pandangan yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan spiritualitas" dan oleh karenanya gerakan ini menganut berbagai bentuk
ilmu pengetahuan dan
ilmu semu (pseudoscience).(dari berbagai sumber)
Kesimpulan
Menurut hemat penulis, ajaran Syekh Siti Jenar merupakan perpaduan antara seluruh pengetahuan hakekat kehidupan yang diajarkan di semua kebudayaan, agama, dan di berbagai zaman. Sekaligus menggambarkan praktik spiritual dalam konteks yang lengkap (vertikal-horizontal), sehingga segala bentuk aktifitas manusia yang dianggap profan adalah perwujudan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa jika hal itu dilakukan dengan kesadaran Ke-Esa-an Tuhan atau kesadaran kesemestaan.
Ajaran ini dapat mengganggu secara politik kekuasaan, karena tidak mengenal perbedaan antara rakyat dan raja. Maka ajaran ini cenderung mengalami politisasi.
Tinajuan Subyektif Penulis Tentang Syekh Siti Jenar
Sejarah itu tulisan bersumber dari catatan2 dan wawancara informan. Penulisan sejarah tak lepas dari kepentingan, sehingga cenderung diarahkan utk tujuan tertentu. Jadi, sikapi sejarah sbg info tingkat dua. Wawancara adalah info tingkat satu. Informan bisa sejarawan, bisa pula praktisi spiritual sebagai info pendahuluan.
Praktisi spiritual memiliki pengalaman bertemu dengan orang-orang yang sudah mati secara fisik, mereka ada yang orang biasa, guru spiritual, para malaikat, dan lain-lain termasuk para Ascended Master (Guru Mursid) serta morang-orang yang mengalami "kenaikan",
ascending,
moksa (Jawa),
ngahiyang (Sunda), dimana menurut beberapa praktisi spiritual bahwa Syekh Siti Jenar melakukan moksa. Alam goib adalah alam keabadian karena disana alam ruh, ruh itu abadi, mereka dapat melihat kita, kita tak dapat melihat mereka kecuali praktisi spiritual dan orang-orang indigo. Disana ada banyak orang dari segala zaman. Keterangan ini berdasarkan beberapa orang praktisi spiritual yang penulis wawancarai. Tampaknya demikian pula dengan apa yang dilihat Ibnu Arabi.
Perihal enititas yang tinggal di alam goib dapat dibaca dari buku C.W. Leadbeater yang berjudul
The Astral Plane, its scenery, inhabitant and Phenomena.
Dalam pandangan Islam terdapat metode pendekatan ke arah ini, yaitu Tasawuf, ia adalah mistisisme dalam Islam. Mistisisme tiada lain adalah ilmu spiritualitas/esoterisme, ilmu ini dalam agama Islam diajarkan oleh Nabi SAW kepada Ali bin Abi Thalib saja (leluhur Syekh Siti Jenar). Ilmu spiritual dimiliki oleh semua bangsa, peradaban dan semua zaman, karena spiritualitaslah inti dari semua ajaran agama. Ilmu ini di Nusantara disebut sebagai aliran Animisme dan Dinamisme, dimana penganut aliran ini dianggap menyembah roh leluhur dan menyembah roh benda-benda. Namuun pada hakekatnya ajaran leluhur ini melakukan komunikasi dengan roh alam dan leluhur, bukan dalam rangka menyembahnya. Diduga ini disengaja sebagai upaya untuk memutuskan manusia dari para leluhurnya, dan memutuskan manusia dengan Tuhannya dengan cara memutus pemahaman akan alam akhirat/astral/barzakh dimana roh tinggal secara abadi.
Sejarah tertua tentang ilmu spiritual ini terdapat pada era Atlantis-Lemuria (60.000 SM) dengan diselenggarakannya Sekolah Misteri (Mistery School) yang mempelajari tentang rahasia kematian (kehidupan abadi), ini sebagaimana disebutkan dalam Emerald Tablet yang ditulis oleh Dewa Toth. Namun sayangnya Emerald tablet hilang, sementara itu Dewa Toth, konon, merupakan peran dan tugas lain dari Nabi Idris a.s.. Mungkin dapat ditemukan korelasi tersebut jika memandang silsilah Adam, dimana Idris adalah generasi ketiga setelah Adam a.s. sedangkan Adam dimulai di era Atlantis-Lemuria. Keterangan ini dapat dilihat dari buku
The Lost Continental of MU yang ditulis oleh Curchward, atau dari buku-buku seperti
Atlantis Indonesia karya Prof. Arisiyo Santos,
Atlantis oleh Edgar Cayce,
Eden in The East oleh Oppenheimmer, dan banyak lagi.
Pengalaman spiritual dapat diperoleh dengan berbagai cara yang dikenal dalam Islam sebagai cara tirakat (berasal dari kata tarekat yang artinya jalan). Praktek-praktek tarekat beraneka ragam, misalnya dengan shalat, wirid, puasa, merenung, bahkan tidur, atau begadang sambil ngopi dan bercanda (ini dialami oleh beberapa informan spiritualis), dan lain-lain. Cara lainnya adalah bertapa, meditasi, dan sebagainya, dan semua pernah dipelajari dan dialami oleh Syekh Siti Jenar.
Untuk apa melakukan praktek spiritual? yaitu untuk mencapai tingkat kesadaran spititual tertinggi: bertemu dengan Tuhan (wihdatul wujud/manunggaling), inilah cita-cita tertinggi kaum sufi dan spiritualis. Pada tingkat itulah manusia sadar akan kehidupannya karena rahasia-rahisa kehidupan terbuka. Lenyapnya Syekh Siti Jenar adalah peristiwa bersatunya/meleburnya tubuh fisik ke dalam jiwa, lalu jiwa membawanya naik ke alam yg lebih tinggi (kenaikan, mi'raj, moksa, ascension, diangkat oleh Allah).
Konflik Syekh Siti Jenar dengan para wali yang lainnya disebabkan kepentingan politis di kesultanan Demak. Demak membutuhkan legitimasi kekuasaan dari para wali agar rakyat taat dan simpati kepada sultan. Ajaran esoteris Syekh Siti Jenar menyamaratakan rakyat dan raja karena di mata Tuhan semua sama. Ia lebih memilih tinggal di kampung bersma rakyat dan tak mau tinggal di istana bersama wali lainnya. Ini demi kepentingan dakwah, yaitu menaikkan tingkat kesadaran spiritual (ke-Tuhan-an) umat manusia. Itulah inti ajaran Islam yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar.
Persoalan lainnya adalah bahwa Syekh Siti Jenar lebih tua daripada wali yang lainnya. Kemudian berbeda secara
maqom (dalam mistisisme Islam/tasawuf), tidak menutup kemungkinan adalah kepentingan politik (kerajaan/kesultanan).
Selain itu, konon, perseteruan lama terus berlangsung antara kelompok mu'minin dengan kafirin, dimana Abu Sufyan hingga Mu'awiyah terus berupaya melumpuhkan kelompok Nabi Muhammad yang dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, penulis berkesimpulan bahwa hal ini telah menjadi konspirasi yang mengglobal, termasuk propaganda istilah Syi'ah yang menjadi buruk dan mempersetrukannya dengan Sunni. Maka dampaknya hingga kini dapat dirasakan, yaitu pendiskreditan Sykeh Siti Jenar, bahkan pengklaiman bahwa Syekh Siti Jenar adalah tokoh fiktif dengan alasan tidak adanya catatan-catatan asli tentang Syekh Siti Jenar.
Pengayaan
Beberapa di bawah ini adalah hasil pengalaman para spiritualis dan beberapa transmisi pesan yang disampaikan entitas di kesadaran tinggi, ini mengenai Realitas Multidimensional. Bahwa realitas Kehidupan itu bertingkat-tingkat secara dimensi/kepadatannya. Kita hanya dikenalkan dengan istilah alam (dimensi) fisik (kasat mata) dan metafisik (goib/tak kasat mata). Adapun menurut transmisi pesan spiritual yg dirangkum dari kelompok New Age Movement, Dimensi/Densitas(kepadatan) itu bermacam-macam sesuai tingkat kesadaran entitas(makhluk)nya. Mulai dari D1(kepadatan1) hingga D12.
1D
kehidupan molekuler, unit terkecil, atom, sel, bakteri, mineral, dsb.
2D
Hewan dan tumbuhan
3D
Alam fisik, alam material, alam dunia. Tubuh fisik manusia ada di alam ini.
4D
Alam astral, alam barzakh, alam goib. Tubuh astral dan tubuh eterik manusia ada di alam ini. Alam ini lebih besar 2 mil ukurannya dari bumi. Disini ada jin, malaikat, dewa, alien, roh manusia yg sudah mati, roh manusia yg sedang tidur/koma. Roh sungai, roh api, roh pohon, dsb. (Lihat CW Leadbeater).
5D
Alam malaikat dan dewa, alam hati nurani yg suci, alam cinta ikhlas, alam kahyangan, alam roh suci. Dsb.
6D
Alam malaikat, malaikatnya malaikat (archangel/malaikat penghulu).
7D
Alam ilahiyah,
8D-12D
Tak dapat didefinisikan karena tidak ada kosa kata yg dapat mendeskripsikannya.
ASTRAL PLANE
PARA MAKHLUK PENGHUNI ALAM ASTRAL
(Charles Webster Leadbeater)
Ada banyak dimensi kehidupan di alam semesta kita ini. Selain dimensi fisik masih ada 6 dimensi lainnya. Salah satunya adalah alam astral karena alam ini merupakan dimensi halus yang terdekat dengan bumi bahkan bisa dikatakan saling berhimpitan dan bersinggungan dengan bumi. Alam Astral adalah alam terkasar ke 2 setelah dimensi alam fisik dalam tatanan 7 alam semesta yang termanifestasi ( yaitu : Alam Illahiah, Alam Monadiah, Alam Rohaniah, Alam Intuisional, Alam Mental, Alam Astral dan Alam Fisik ).
Astral planet bumi beberapa ratus mil lebih besar diameternya dibandingkan diameter fisik bumi. Alam ini memiliki 7 sub alam astral dari tingkat yang terendah sampai tingkat yang tertinggi. Dalam buku “Astral Plane” yang ditulis oleh CW. Leadbeatter dituliskan mengenai beberapa jenis makhluk yang bisa ditemui di alam astral ini yaitu :
A. Manusia hidup :
- Para Adept (makhluk suci di atas jenjang evolusi manusia) dan para siswanya.
- Orang yang psikisnya berkembang (paranormal / indigo).
- Orang biasa dalam keadaan tidur atau koma.
- Kaum magi/sihir hitam beserta murid dan kelompoknya.
B. Manusia yang telah terurai badan fisiknya (meninggal)
- Para makhluk suci yang membimbing manusia dan evolusi planet bumi.
- Para siswa spiritual dalam perjalanan ke alam berikutnya.
- Orang biasa yang telah mati tapi masih memiliki ikatan di bumi (kadang sampai berabad-abad mereka ada di alam ini)
- Mayat badan astral / jejak dan sisa energi kehidupan.
- Selongsong mayat astral / mayat astral pada fase terakhir penguraiannya.
- Selongsong astral yang diberi energi hidup yang digunakan untuk kepentingan jahat kaum magi hitam.
- Orang bunuh diri dan arwah penasaran.
- Golongan vampir dan serigala/werewolf (berasal dari bangsa-bangsa kuno yang telah musnah, warisan jaman purba dan bersifat sangat jahat).
- Manusia yang ada dalam dunia kelabu.
- Kaum magi hitam beserta murid dan para pengikutnya.
C. Makhluk Bukan Manusia.
- Sari elemental, suatu tingkatan evolusi monad di tahap awal yang belum memiliki kesadaran tersendiri.
- Badan astral binatang.
- Roh – roh alam dari berbagai jenis (misal roh alam bunga/peri bunga, roh pohon, roh sungai/peri sungai, roh udara, roh alam api, roh tanah dan sebagainya).
- Para dewa di tingkatan alam astral.
D. Makhluk Buatan
- Elemental yang terbentang tanpa sadar.
- Elemental yang dibuat secara sadar.
- Makhluk buatan yang diciptakan untuk tujuan khusus dan tertentu.
REFERENSI
1. Serat Syeh Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja,
Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan
Karyawan Museum, Jakarta, 1972;
2. Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara ; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1
3.
P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta,
1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976;
4.
Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti
Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004;
5. Sartono Kartodirjo dkk, [i] Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976;
6. Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941;
7. Raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817),
8. Dedi E. Kusmayadi “Asal Usul Syekh Siti Jenar
http://dzat-alif-satunggal.blogspot.co.id/2017/06/asal-usul-syekh-siti-jenar.html diakses pada 24 Maret 2018 pukul 20:00 WIB.