Selamat datang di blog KJB! Selamat Anda telah mendapat peunjuk dari Tuhan sehingga diarahkan menuju webblog ini, Anda orang yang terpilih

Klik to Chat Admin

Wednesday, May 20, 2020

Perbedaan dibidang sosial budaya pada kerajaan Banten dengan sosial budaya sekarang pasca virus covid-19 yang ada di Banten

Virus Corona atau Covid-19 telah ditetapkan sebagai pandemik. Wabah penyakit yang berasal dari Wuhan, China, itu kini telah menyebar di 157 negara per 16 Maret 2020. Di Indonesia tecatat 117 positif, 8 sembuh, dan 5 meninggal dunia.
Sejarah telah mencatat, Indonesia tidak kebal terhadap wabah penyakit menular. Sebut saja flu Spanyol tahun 1918 telah membunuh 1,5 juta penduduk Indonesia. Jauh sebelumnya, pada abad ke-17, wabah penyakit menular juga melanda Jawa yang mengakibatkan kematian dalam jumlah besar.
H.J. de Graaf, ahli Jawa kuno, dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, menyebut setelah Surabaya menyerah, tampak kemunduran dalam kegiatan militer Susuhunan (Sultan Agung). Kecuali disebabkan oleh perluasan keraton dan keletihan oleh kerja keras selama tahun-tahun sebelumnya, kemunduran ini juga akibat penyakit menular. Dalam laporan ke Negeri Belanda tanggal 27 Oktober 1625 telah diberitakan bahwa rakyat mengalami cobaan berupa “kematian, peperangan, kelesuan, bahan makanan yang mahal, dan pajak yang berat di seluruh tanah Jawa”.
Laporan itu menyebutkan penyakit menular itu mengakibatkan sepertiga penduduk di Banten meninggal dunia dalam lima bulan. Di Batavia ada beberapa anggota Kristen meninggal dunia karena penyakit ini. Di Cirebon dalam musim kemarau lebih dari 2.000 orang meninggal dunia. Di Kendal, Tegal, Jepara, dan semua tempat pantai sampai Surabaya, demikian pula di beberapa daerah pedalaman, orang yang meninggal dunia tidak dapat dihitung.
De Graaf mencatat bahwa penyakit masih merajalela pada tahun 1626. Di banyak tempat dua pertiga dari penduduk tewas disebabkan penyakit yang luar biasa ini. Kematian juga karena kerja paksa sehingga pertanian mengalami kemunduran besar, sawah-sawah yang subur menjadi gersang. Pada 1627, banyak penduduk meninggal dunia karena wabah penyakit dan perang saudara. Beberapa tempat perdagangan di pantai laut ditinggalkan, pertanian sangat mundur, dan yang selamat dari wabah penyakit menjalani hidup dalam kemiskinan. 

Sementara itu, sejarawan Claude Guillot menyebut dengan jelas penyakit itu adalah pes. “Menurunnya jumlah penduduk [Banten] diperparah lagi dengan adanya wabah hebat penyakit pes tahun 1625 yang merenggut nyawa sepertiga jumlah penduduknya,” tulis Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII.
Jumlah penduduk Kesultanan Banten antara 80.000 sampai 100.000 orang di pengujung abad ke-16, dan meningkat selama satu dasawarsa berikutnya sampai tahun 1609. Mulai tahun itu, jumlahnya mulai berkurang seiring pergantian pemerintahan yang mengekang kekuasaan para saudagar. Penurunan jumlah penduduk paling parah disebabkan oleh wabah pes. Sekitar tahun 1630, jumlah penduduknya menyusut drastis, kemungkinan besar tak lebih dari 50.000 orang.
Menurut sejarawan Yuval Noah Harari dalam Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, wabah paling terkenal yang dinamai Maut Hitam (Black Death) itu meletup pada dekade 1330, di suatu tempat di Asia timur atau tengah, ketika bakteri Yersinia pestis mulai menginfeksi manusia yang digigit kutu.
Dari sana, dengan menumpang armada tikus dan kutu, wabah dengan cepat menyebar ke seluruh Asia, Eropa, Afrika Utara, dan hanya dalam waktu kurang dari dua tahun mencapai pesisir-pesisir Samudra Atlantik. Antara 75 juta sampai 200 juta orang mati –lebih dari seperempat populasi Eurasia.

Wabah pes di Jawa terjadi pada Pandemik Kedua. Pada tahun yang sama (1625) wabah menghancurkan London, Inggris, dan Amsterdam, Belanda; masing-masing kehilangan penduduk antara 10% sampai 30%. Dari sana, mungkin saja para pedagang membawa wabah itu masuk ke Banten, mengingat saat itu wilayah paling barat Pulau Jawa itu menjadi tempat perdagangan internasional, di mana beberapa negara asing memiliki kantor dagang (loji).
Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Yuval bahwa kota-kota sibuk yang dihubungkan oleh arus tiada putus pedagang, pejabat, dan peziarah menjadi alas tumpuan peradaban manusia sekaligus menjadi lahan tumbuh ideal patogen (parasit yang mampu menimbulkan penyakit, red.).
“Setelah kelaparan,” Yuval menyimpulkan, “musuh besar kedua kemanusiaan adalah wabah dan penyakit menular.”
(Sumber: Historia.id)

No comments:

ikuti blog ini

Follow My Blog

Popular Posts

KARYA KITA