Selamat datang di blog KJB! Selamat Anda telah mendapat peunjuk dari Tuhan sehingga diarahkan menuju webblog ini, Anda orang yang terpilih

Klik to Chat Admin

Thursday, June 23, 2016

MUSIK DI BANTEN



Oleh: Purwo Rubiono, S.Ag.

1.      Pendahuluan

Musik telah menjadi bagian dari kehidupan manusia baik dalam aktifitas  sakral maupun profan, ia memiliki daya magis yang mampu menghipnotis jiwa manusia, oleh karenanya musik memiliki peran yang sangat penting sepanjang hidup manusia sejak pertama pemunculannya, hingga akhir zaman. Sebagai produk kebudayaan, musik tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pendukungnya, karena musik adalah presentasi dan respon manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat terhadap kehidupannya. Sebagai karya seni, ia adalah ungkapan rasa, ekspresi dan indikator eksistensi manusia. Dalam peribadatan kuno, musik sangat urgen, ia jembatan yang mampu mengerakkan manusia yang lainnya menjadi satu rasa. Hal itu dapat dirasakan bahkan hingga masa sekarang, puji-pujian, doa-doa diucapkan dengan merdu bukan semata-mata untuk keindahan saja, melainkan membangun kekhusyukan yang diprlukan untuk  ibadah. Telah banyak kita lihat di berbagai umat beragama dalam peribadatannya, di dalamnya kita temukan unsur musikal, seperti murrậtal, azan, qira’at, pembacaan mantera, himne dan Sebagainya.
“Eksotisme”[1][1] musik tradisional Indonesia tidak terlepas dari gamelan, yang kemudian akan dideduksikan dalam konteks “musik di Banten”. Pola musikalitas gamelan sangat besar pengaruhnya di seluruh kebudayaan Nusantara[[2]]. Penelitian gamelan yang semula terkait dengan pulau Jawa dan Bali justeru berawal di Banten.
Gamelan secara Musikologi berpola pentatonik.  Pada catatan moderen,  awal keberadaan gamelan hanya digunakan di keraton-keraton atau istana kerajaan, permainan gamelan merupakan manifestasi atas kekaguman dan rasa terimakasih kepada Yang Maha Kuasa, bunyinya merupakan misteri, yang mampu membangkitkan rasa “agung”, “syahdu” (gamelan berlaras pelog).[3][3] Kemudian pada perkembangannya gamelan menjadi sarana hiburan (pesta panen, pernikahan, khitanan, syukuran, dll).
Masih menurut catatan moderen, perubahan fungsi gamelan menjadi hiburan ini ditandai dengan berpindahtangannya kepemilikan gamelan dari para bangsawan keraton/kesultanan  kepada masyarakat biasa di era kolonial, seiring dihapuskannya kerajaan/kesultanan.[4][4] Saat itu pula  terjadi kontak kebudayaan Timur dan Barat, misalnya perkenalan biola bagi orang timur, dan orang Barat mengenal gamelan.[5][5]
Manusia baik secara genetis maupun psikis memiliki keterkaitan dengan leluhurnya, maka gagasan yang muncul dapat berdasarkan pengalaman-pengalaman dari alam bawah sadar, dan mengingat-ingatnya berarti mengingat pengalaman nenek moyangnya (Carl Jung dalam David A.Statt, 1998:27).
Manusia mewariskan sifat-sifat nenek moyangnya, serta menemukan kembali metode inovatif dari cara-cara sebelumnya. Demikian pula dalam seni musik, di berbagai bangsa telah mengenal tangga nada pentatonik (slendro maupun  pelog), serta terdokumentasikan secara organologis sesuai kondisi sosial dan alamnya masing-masing. Di Afrika terdapat Balafon, Marimba, kalimba, dan sebagainya. Di Yunani pada era pra Aristoxenus dan Pythagoras dikenal tangga nada anhemitonik sebagai tangga nada tradisional mereka, dibuktikan pada alat musik lyra (alat musik berdawai). Kemudian pada era Pythagoras,  anhemitonik dikembangkan menjadi diatonis berdasarkan teori tetrachord 1 dan tetrachord 2 (Ammer, 2004:146). Mulai saat itulah perkembangan musik meluas di berbagai bidang.

2.      Pengertian Musik

Musik dalam bahasa Yunani berasal dari kata “Mousiké”, kemudian ditransformasikan melalui bahasa Latin menjadi “Musica”, istilah ini merujuk kepada “ilmu mengaransemen melodi”. Dalam istilah Arab disebut “‘ilm al-musiqi” yang merujuk untuk musik secara teori, meskipun orang Arab sendiri menyebutnya sebagai  ’Ilm al-Ghinaa” yang secara empiris telah hadir  di kebudayaan Arab sejak lama.[6][6]
Secara teknis, musik dibangun oleh tiga unsur,
a.       Bunyi, suatu getaran yang dapat ditangkap oleh organ telinga manusia, yang selanjutnya disebut “nada”.[7][7]  Dave Benson menyebutkan, musik itu adalah getaran udara, dan udara adalah gas yang terdiri dari atom dan molekul, penambahan dan pengurangan tekanan terhadap molekul inilah yang menyebabkan adanya perbedaan getaran (dan diinterpretasikan sebagai bunyi, pen), dalam kondisi temperatur normal, molekul udara bergerak atau bergetar dengan kecepatan 450 sampai dengan 500 meter per detik[8][8].
b.      Durasi (note value, time), yaitu waktu yang dihabiskan dalam membunyikan nada, atau dapat dikatakan “seberapa lama nada itu dibunyikan”. Ada nada yang dibunyikan sebentar, bahkan kurang dari satu detik, ada yang lebih, bahkan lebih lama lagi.
c.       Harmoni,  yaitu soal kesesuaian (kenyamanan dengar) antara nada yang satu dengan yang lainnya saat dibunyikan bersama. Termasuk pembahasan irama atau ritme.

3.      Tujuan dan Ruang Lingkup
Dari segi musikologi akustik, obyek pembahasan ini adalah musik tradisional Banten, yaitu berciri menggunakan tangga-nada pentatonis pelog dan slendro. Termasuk mengkaji alat-alat musiknya dan sebarannya di masyarakat Banten. 
Tujuan pembahasan ini adalah pertama untuk mengetahui sejarah kemunculan musik pentatonik  melalui masyarakat pendukungnya, yang kedua untuk mengetahui asal-usul manusia melalui hipotesis pada aspek etnomusikologi sebagaimana ditengarai oleh Arisiyo Santos.[9][9]

4.      Tangga Nada Diatonis dan Sejarahnya
Tangga nada diatonis, terdiri dari “do re mi fa sol la si do”, atau disimbolkan dengan angka : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7.  Dinamakan Diatonic /diatonis (di=dua, tone=suara) karena interval (jarak) antar nada ini didominasi oleh dua halftone[10][10]. Lagu-lagu populer[11][11] menggunakan tangga nada ini.   Mengenai tangga nada diatonik ini, Christine Ammer menyatakan “Pertaining to or containing the notes that make up an octave containing five whole tones and two half tones. Both the major and minor scales are diatonic, as are the CHURCH MODES. “ (Ammer, 2004:107), yang berarti “Terkait dengan nada-nada dalam satu oktaf yang terdiri dari lima nada penuh dan dua nada setengah”.  Tangga nada ini dipopulerkan oleh Guido de Arezzo (991 M) dengan teks angka arab.[12][12]
Tetapi jauh sebelumnya skala ini sudah digunakan, misalnya pada lagu-lagu Yunus al-Katib al-Mansur (Yunus bin Sulaiman bin Kurd bin Syahriar Abu Sulaiman, 765 M) dalam Kitab al-Aghani yang dihimpun oleh Abu’l-Faradj al-Isfahani, ada 10.000 halaman  dan terdiri dari 100 lagu terpopuler, dengan aksara Arab (mi, fa, shad, la, dst). [13][13] 
Pada Dinasti Han (221 SM) di Cina sudah ada nyanyian bernotasi huruf kanji.[14][14] Lebih jauh kebelakang lagi, yaitu pada masa pra Aristoxenus (335 SM) sudah dikenal Anhaemitonik Scale (slendro termasuk dalam kategori ini), dan tangga nada diatonis dibangun dari dua struktur tetrachord ( empat nada, “fa-mi-re-do”), yang dijadikan pedoman membuat aulos[15][15].  Stefan Hagel menyatakan bahwa struktur re-do-si-la-sol-fa-mi (systema ametabolon atau the unmodulating system)  juga adalah temuan Aristoxenus.[16][16] Jadi, Guido bukanlah orang yang pertama.
Guido mengadaptasi  nama nada berdasarkan suku kata depan dari Hymne Saint John : Ut Queant Laxis/ Resonare Fibris/Mira Gestorum/Famili Tuoram/Solve Polluti/Labii Reatum/Sancte Ioannes. Dalam bahasa Inggris dapat berarti: “So that we your servants may freely sing of the wonders of your deeds, cleanse the guilt from our polluted lips, Oh Saint John”.

5.      Tangga Nada Pentatonis
Pentatonis berasal dari dua kata,  pente atau penta (yunani)  = lima, dan  tonos = nada. Yaitu tangga nada yang terdiri dari lima nada, menurut Kamus Musik dari Christine Ammer, tangga nada pentatonik (Pentatonic Scale) dibangun oleh lima nada, yaitu nada C,D,F,G,A atau C,D,E,G,A.  Di Indonesia, skala pentatonik dikenal dua macam, yaitu pelog dan slendro, dua skala ini berdasarkan pada gamelan yang tersebar di Jawa dan Bali (Michael Tenzer, 1991). Berdasarkan data lapangan menunjukkan bahwa gamelan Pelog, berjumlah 5 nada (1,3,4,5,7),[17][17] meski sebenarnya dalam kajian lokal lebih kompleks karena tangga nada pentatonik tidak linear dengan diatonik. Maka Ajip Rosidi membuka peluang bagi masyarakat awam untuk mengapresiasi musik jenis pentatonik ini menjadi lebih sederhana.

Diatonis (7 nada)
1

2

3
4

5

6

7

Slendro (5 nada)
1

2

3


5

6



Pelog (5 nada)
1



3
4

5



7


Tabel 4: Skala Pentatonis dalam tinjauan sistem musik Barat/diatonis (diolah dari berbagai sumber).

Skala ini digunakan juga dalam komposisi-komposisi musik Dvorak, Puccini, Debussy serta beberapa komposer lainnya. Menurut Dr. A.N. Tucker, pentatonik yang dikenal dibarat sangat berbeda dengan yang ia dengar di Sudan, disini lebih terdengar asli (khas, pen).[18][18] Selain itu, nyanyian pada Ya Yueh (Dinasti Han, 221 SM)  terdiri dari nada C,D,E,G,A (pentatonik).[19][19] Diperkirakan tradisi musikal ini dibawa ke Jepang dan mengalami transformasi menjadi Gagaku, Noh, serta pada alat musik Shakuhachi, Koto dan Shamisen. Semua berskala Pentatonik. [20][20]
Berikut ini contoh lagu pop daerah Nusantara yang berlaras Pelog dan Slendro: 1. Gundul-gundul Pacul (Jawa Tengah, pelog), 2. Akang Haji (Sunda, Pelog), 3. Janger (Bali, Pelog), 4. Cublak-cublak Suweng (Jawa Tengah, Slendro), 5. Sajojo (Irian, Madenda), 6. Ole Olang (Madura, Slendro), 7. Cing cang Keling (Sunda, Slendro).




6.         Sistematika
Menurut Sarmani (62), masih banyak gamelan di Banten hingga saat ini digunakan dalam pertunjukan wayang golek maupun ubrug.[21][21] Penulis juga menemukan data di lapangan bahwa alat musik tradisional lainnya seperti calung renteng dan angklung buhun, juga nyanyian-nyanyian yang lekat dengan budaya pertanian berlaras slendro.
Musik tradisional lazimnya dibuat, diwariskan, diajarkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi secara oral. Dari hal inilah penulis tertarik untuk meneliti musik pentatonis ini. Untuk menemukan fakta dan data itu, penulis mengumpulkan data berdasarkan:

1.      Aspek Organologi. Yaitu alat musik pentatonik secara lebih spesifik pada sebarannya di dunia, yaitu di  Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Di Asia diantaranya ialah di Indonesia, China, Korea, Philipina, Thailand, Jepang dan India. Di Eropa, pada musik tradisional Celtic, di Amerika terdapat di Peru. Demikian pula di Sudan dan Mesir Kuno.
2.      Aspek Sejarah dan Mitologi. G.R. Elton dan Henry Pirenne dalam Yoseph Iskandar (2001) menyatakan bahwa sejarah adalah hasil studi tentang  perbuatan dan hasil-hasil kehidupan manusia dalam masyarakatnya di masa silam. Sejarah diungkap melalui disiplin ilmu Filologi, Epigrafi, dan Arkeologi. Tak kalah pentingnya Ayatrohaedi yang menyatakan bahwa sumber sejarah lainnya adalah tradisi lisan, dan hal ini dapat diartikan bahwa dalam pemahaman masyarakat Sunda, sejarah itu berupa dongeng, cerita, tambo, legenda, mitos, sasakala, pantun, wawacan, babad, dan sebagainya, dimana hal-hal tersebut masuk dalam kategori karya sastra. Sejarah dan karya sastra memiliki pemisah yang sangat tipis.[22][22]

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, observasi, dan wawancara lapangan di wilayah Banten.





GAMELAN


Gamelan (Jawa, gamel = menabuh),  alat musik yang ditabuh. Dalam bahasa Bali gamel artinya menangani (Grolier, 2002:29). Gamelan merupakan musik ensambel[23][23], atau “orkestra Indonesia”[24][24], dimana gamelan dimainkan oleh lebih dari satu orang. Secara sosial, keberadaan musik gamelan menunjukkan adanya suatu sistem kemasyarakatan.
Gamelan merupakan alat musik satu set yang terdiri dari beberapa alat musik, dari segi materi, Gamelan adalah alat musik yang terbuat dari perunggu (gong, kenong, bonang, saron, gender dan sejenisnya), terbuat dari kayu dan kulit (gambang, kendang/gendang), serta alat musik berdawai sebagai ciri khas kebudayaan maju (celempung/siter, rebab).
Masyarakat Sunda menyebutkan gamelan sebagai Degung, yang merupakan sebutan yang berasal dari dua kata ngadeg dan ageng (berdiri dan megah), atau pangagung, yang terakhir ini sangat erat dengan kebangsawanan/pangagung. Ini menunjukkan bahwa gamelan/degung hanya dimiliki oleh kaum bangsawan. Berbeda dengan pemahaman orang Belanda seperti yang dikutip oleh Ganjar Kurnia, bahwa dalam kamus susunan H.J. Oosting,  kata "De gong"  berarti “penclon-penclon yang digantung”.
Jennifer Lindsay menulis bahwa Gamelan sangat erat kaitannya dengan masyarakat di pulau Jawa, gamelan menunjukkan dinamika sosial dan mengandung pesan moral yang mengarah pada pendalaman rasa terhadap peran individu di dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Gamelan adalah “Cahaya bulan dan air yang mengalir, murni dan penuh misteri bak cahaya bulan, Ia adalah bentuk-bentuk yang diciptakan untuk pendengaran yang tak berlagu, sebuah pernyataan akan eksistensi, seperti cahaya bulan yang menyebar melimpahi bumi” demikian kata Leonhard Huizinga yang dikutip oleh Ruth T. Mcvey dalam bukunya “Indonesia: Music and Theatre in Java and Bali (South east Asia studies Yale University 1963)”.[25][25] Semangat gotong royong tercermin dalam kesenian gamelan.

1.      Penggunaan gamelan dan Sebarannya di Banten.

Permianan gamelan di Banten terdapat pada kesenian ubrug dalam acara pernikahan atau khitanan, pentas-pentasnya tersebar di pedesaan hingga ke pinggiran kota. Hingga saat ini, ada sejumlah gamelan yang masih aktif digunakan di Banten Utara khususnya Serang Timur hingga ke Tangerang Barat. Gamelan tersebut digunakan untuk pertunjukan ubrug, cokek, wayang golek, wayang wong (ubrug dengan kostum wayang wong), dan wayang kulit (Cilegon). Demikian pula di daerah Banten Selatan dan di masyarakat adatnya masih ada beberapa set gamelan tua.
           
2.      Sumber Sejarah Gamelan
Informasi yang dapat dikumpulkan soal sejarah gamelan terdapat di data fisik baik arkeologis maupun benda lainnya, yaitu berupa benda-benda peninggalan serta catatan-catatan pada batu (prasasti), lontar, dan sebagainya.   Karya sastra lisan (mitos, legenda, dongeng) maupun tertulis (kitab/babad, literatur).

a.      Mitologi Gamelan
Dalam mitologi Jawa, konon, disebutkan bahwa gamelan dibuat oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka 167 (230 M).[26][26] Semula hanya berupa gong saja, kemudian menjadi gamelan.[27][27] Tetapi menurut Lindsay (1992) maupun dalam Bulletin for National Museum of Canada (Ottawa: April 1961:2), gong dibuat jauh sebelum adanya agama Hindu, jauh sebelum dibuatnya Candi, oleh karena itu gamelan bukanlah alat musik tradisional agama Hindu. Gamelan bentuk yang sekarang merupakan warisan dari zaman Majapahit.[28][28] Asumsi sementara soal angka tahun sejarah pemunculan gamelan adalah jauh lebih lama sebelum Era Saka.
Asumsi lain terkait dengan aspek ketokohan, yaitu Sang Hyang Guru,  Batara Guru atau Manikmaya, dalam kitab dan babad ada Prabu Seth (Babad Tanah Jawa) atau Seth putera Adam A.S. dalam Kitab Injil (Genesis 4:25). Istilah Sanghyang pun dipakai dalam agama Hindu seperti pada mantra Puja Trisandhya dari Kitab Suci Weda, diantara baitnya adalah:

“Om Sanghyang Widhi, semua yang ada berasal dari Sanghyang Widhi baik yang telah ada maupun yang akan ada,  Sanghyang Widhi bersifat gaib, tidak ternoda, tidak terikat oleh perubahan, tidak dapat diungkap, suci, Sanghyang Widhi Maha Esa, tidak ada yang kedua.

Istilah Sanghyang sudah ada sebelum masa Hindu-Budha, di Banten ada dalam kepercayaan Sunda Wiwitan. Dalam Babad tanah Jawa (Olthof, 2007) terdapat data geneologi (silsilah) raja-raja Jawa. Dimulai dari Adam a.s., mempunyai anak Sis, beranak Nurcahya beranak Nurrasa beranak Sanghyang Wening, beranak Sang Hyang Tunggal beranak Sang Hyang Guru/Batara Guru, memiliki lima putera, dan satu puteri yaitu Dewi Sri atau Nyi Pohaci, dan salah satu puteranya adalah Batara Wisnu yang kemudian menjadi raja pertama di Jawa dikenal dengan Prabu Set.
Dalam naskah laporan Pangeran Wangsakerta dikabarkan pada era Saka terdapat suatu masyarakat yang menganut kepercayaan (pitarapuja) yaitu “Sang Hyang”. Di pihak lain, predikat “Hyang “hanya untuk Sang Hyang Tunggal saja, atau Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Mencipta. Dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, dipercaya bahwa kesempurnaan sukma adalah bertemu dengan Sang Hyang Tunggal (Ali Fadillah dalam Joseph Iskandar, 2001 ).
Dalam cerita Plato berjudul Timaeus (360 SM), berisi filsafat dan pemikiran plato yang dituangkannya dalam bentuk percakapan antara Timeaus dengan Critias, di dalamnya banyak menyebutkan para dewa. Cerita-cerita serupa ada pula pada mitologi Yunani, India, Cina, dan Jepang. Mitologi ini menarik dikupas karena banyaknya faktor kesamaan makna.
Batara Guru, Sang Hyang Guru, para Dewa, memiliki tugas yang spesifik, dan memiliki sifat-sifat manusia juga, dan memiliki hawa nafsu. Misalnya kasus Batara Guru kawin “sirri” dengan Putri Medang sehingga Batara Wisnu tidak tahu kalau Putri Medang adalah ibu tirinya, kemudan ia mencintainya dan ingin mempersuntingnya.[29][29]
Dari sini dapat diasumsikan bahwa bisa saja yang dimaksud  dengan tokoh Batara Guru adalah manusia biasa tetapi oleh karena ilmunya sehingga ia memiliki sifat-sifat mulia layaknya Dewa. Kemungkinan lain tokoh tersebut adalah seorang pemuka masyarakat, bisa sebagai seorang raja, kepala kampung, penghulu, pemangku adat, atau semacamnya. Telah banyak raja-raja Nusantara sejak masa Salakanagara, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga kembali ke Cirebon, banyak yang menggunakan gelar Batara, Sang Hyang, dan semacamnya. Maka dapat diasumsikan bahwa para dewa itu adalah manusia juga dan sejarah gamelan amat lekat dengan sejarah manusia.

b.      Salakanagara
Dalam naskah Wangsakerta diceritakan sejarah kerajaan Salakanagara dan Aki Tirem, serta peradaban awal sejak 1.600 tahun sebelum Saka (Joseph Iskandar :  2001). Demikian pula di masyarakat Banten pegunungan, terdapat cerita lisan Salakanagara bersanding dengan mitos Aki Tirem. Penulis mempertimbangkan bahwa mitos merupakan dokumentasi lisan atas peristiwa masa lalu, yang kemungkinan besar memang sengaja tidak ditulis. Catatan lain terkait hal ini terdapat juga pada N.J. Krom dalam buku Het Hindoe Tijdperk (1938:121) sebagaimana dikutip oleh Atja dan Edi S Ekadjati. Serta pada catatan Claudius Ptolomy  tentang Argyre (Sartono Kartodirjo, 1975). Mereka telah memiliki banyak pengetahuan yang diantaranya  “membuat tabuh-tabuhan untuk menari” sejak sebelum Era Saka.

c.       Artefak
Bukti paling populer dan akurat soal adanya gamelan terdapat di relief candi Borobudur (8 M). Adapun situs Sang Hyang Dengdek yang dikonotasikan sebagai simbol Aki Tirem lebih tua dari Borobudur dimana lokasi tersebut tidak jauh dari situs Batu Sorban, dan faktanya Gong tertua terdapat di Banten (Ajip Rosidi, 2000:52). [30][30]
Relief Borobudur cukup memberikan gambaran masa perkembangan gamelan, juga data organologis.

Gambar : Ilustrasi pertunjukan musik pada relief Borobudur (http://www.wikipedia.com/musician borobudur.jpg)

Sang Hyang Dengdek dan Sang Hyang Heuleut, berlokasi di Kecamata Cisata Kab. Pandeglang.  Konon, Sang Hyang Dengdek dan Sang Hyang Heuleut sepasang suami-isteri. Menurut Claude Guillot (1994) Sang Hyang Dengdek adalah arca primitive tipe polinesia yang menyandang nama ‘Dewa’ yang dipuja. Karena arca ini secara alami agak membungkuk maka orang memberi namanya “si bungkuk yang terpuja “ (Claude Guillot, 1994:100). Situs Batu Goong adalah sebuah situs dimana menhir sebagai pusatnya dikelilingi oleh batu-batu yang berbentuk gamelan atau gong, dan batu pelinggih dalam formasi batu gamelan (Fadillah, 2002).

Menurut cerita masyarakat sekitar pada bulan Rabiul Awal, batu goong ini mengeluarkan bunyi-bunyian seperti suara gamelan yang terdengar hingga satu desa setempat.[31][31] Demikian pula menurut Yadi Ahyadi dan Sofiyan (30) kuncen batu goong pada bulan Maret 2011, sering terdengar gamelan pada hari Jum’at menjelang shalat Jum’at. Diduga, situs Batu Goong awalnya tempat pembuatan gamelan, dimana dilakukan ritual tapa bagi pembuatnya di dalam gua di sekitar kali kecil. Di dalam  gua tersebut terdapat batu patapaan yang berbentuk datar dan terdapat bekas kaki dan bokong orang bertapa, demikian menurut keterangan Sofiyan. Sebelum dan sesudah bertapa, pawang gamelan tersebut mandi di kolam citaman, baru kemudian membuat gamelan. Ritual tapa merupakan ritual pemurnian jiwa dan membantu membangun rasa untuk menghasilkan suara gamelan yang merdu.
Situs ini berbeda dengan arca Hindu-Budha yang disimpan di Museum Pusat sebagaimana laporan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang pada tahun 2007. Diperkirakan situs-situs Megalitik berada pada rentang waktu 8000–550 SM.  Situs-situs megalitikum  itu secara umum berfungsi sebagai, tanda batas teritorial, monumen suatu peristiwa, atau, sesuatu yang berkaitan dengan agama/kepercayaan (kuburan tokoh, dan tempat pemujaan).[32][32] Dalam catatan lain dinyatakan bahwa pada 6.000 SM telah ditemukan emas, bahkan sejak periode ini telah digunakan teknologi peleburan emas, namun selanjutnya oleh karena emas terlalu lunak, orang-orang kemudian beralih ke tembaga (copper) setelah ditemukan, jika digabungkan data tersebut, maka dari sinilah periode Kalkolitik dimulai. Selanjutnya ditemukan timah yang dibuat campuran dengan tembaga sehingga menjadi perunggu, masa ini masuk pada Periode Perunggu (Bronze Age). Dalam catatan lain, periode perunggu dimula pada 3800 SM. Baru kemudian ditemukan Besi (Iron). Selain itu, di Indonesia telah ditemukan sejenis alat cor logam di sekitar Dago Bandung yang menurut penelitian van Bemmelen (peneliti Belanda) usianya telah mencapai 125.000 tahun. Hal itu berarti sejak zaman prasejarah orang Sunda telah memiliki keterampilan teknologi logam (alat tersebut kini tersimpan di Musium Geologi Bandung).[33][33] Sedangkan gong yang tertua terbuat dari bahan perunggu, demikian pula Jennifer Lindsay, gong bukanlah berasal dari kebudayaan Hindu-Budha, melainkan jauh sebelum itu. Ini menggambarkan bahwa kepercayaan kepada Sang Hyang merupakan kepercayaan sejak masa megalitikum, jauh sebelum agama Hindu dan Budha. Dipercaya bahwa roh nenek moyang merupakan perantara yang menghubungkan generasi dahulu dengan sekarang, serta kepada dewa-dewa(Sang Hyang), yaitu sumber kekuatan spiritual yang memiliki kekuatan pada bumi, tanah, dan air, tradisi ini pada setiap daerah memiliki masa awal yang berbeda-beda, tetapi umumnya dimulai sejak 6000 – 2000 SM (Fadillah,2002:40). Adapun artefak yang dekat dengan gamelan adalah situs Batu Sorban. Ukuran Batu Sorban berdiameter 30 cm, dan ketebalan 10,5 cm. Penulis memandang bahwa bentuk batu tersebut lebih mirip gong besar ketimbang sorban.
Berdasarkan paparan sejarah dan mitologi diatas, sampai disini penulis dapat menarik hipotesis sebagai berikut:

1.      Dalam mitos disebutkan Sang Hyang Guru, sedangkan sebutan Batara Guru muncul belakangan, dan kepercayaan kepada Sang Hyang sudah ada sejak 6000-2000 SM (zaman megalitikum).
2.      Catatan mengenai perunggu sudah ada sejak 3800 tahun SM, dan berdasarkan Pendapat Jennifer Lindsay, diperkirakan Gong sudah ada sebelum masa Hindu-Budha.

3.      Atlantis (dan Fahmi Basya?)
Atlantis dipercaya berada di Indonesia, tepatnya berpusat di lokasi Gunung Krakatau sekarang, Atlantis dipercaya sebagai peradaban awal manusia di bumi.
Dalam ranah etnomusikologi yang menjadi obyek pembicaraannya adalah musik Non-Barat. Pada abad 19 orang beranggapan bahwa musik non-barat amat aneh dan belum menanggapinya sebagai musik secara serius. Muncul pula istilah “Exotic Music” berdasarkan cara pandangan mereka atas musik di Timur. Ada satu kesimpulan yang menyatakan bahwa musik-musik barat banyak terpengaruhi oleh musik-musik non-Barat, ini terlihat pada musik pop seperti raga, rock, dan reggae, serta pada musik-musik serius seperti terdapatnya tangga nada non-Barat, alat musik, serta jenis irama.[34][34]
Kembali kepada pernyataan awal, bahwasanya pembicaraan musik tentu tidak terlepas dari kebudayaan dimana musik itu muncul. Kenyataan lainnya bahwa satu kebudayaan dengan kebudayaan lain telah terjadi kontak dan akulturasi serta asimilasi. Kesimpulan ini memperkuat bahwa telah terjadi hubungan historis terkait asal usul umat manusia dengan Atlantis. Pembahasan mengenai Atlantis telah banyak ditulis dari berbagai sudut pandang, baik ilmiah maupun non ilmiah.  Pertama, Stephen Oppenheimer  dan Arisiyo Santos menyatakan lokasi Atlantis ada di Indonesia. Santos berpedoman pada penjelasan Plato dalam percakapan Timaeus dan Critias, didukung dengan data penelitian di berbagai bidang keilmuan (Santos, 2011:30). Sudah cukup banyak buku dan terjemahan soal atlantis, bahkan di beberapa grup jejaring sosial terdapat banyak laporan fisik keberadaan peradaban masa lalu Atlantis.
Santos secara khusus meneliti Atlantis lebih mendalam berdasarkan aspek penting yang dikatakan Plato, aspek-aspek tersebut ialah: Benua yang terrendam, beriklim tropis, keberadaan gajah, kuda, buah nanas, kelapa dan pisang, kaya akan logam dan batu permata yang beragam, gunung yang megah,  hamparan yang tenggelam, pertanian dan teknologi hidrolik, jaringan parit untuk irigasi dan navigasi, dua sampai tiga kali panen dalam setahun, musim penghujan, populasi yang besar di masa-masa awal, gunung berapi dan gempa bumi, keahlian navigasi, bangunan megalitik, perdagangan trans-samudera, wewangian dan dupa, simbol-simbol sakral, era pemunculan manusia, pilar herkules, banyak pulau, golongan darah, tulisan dan abjad.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Atlantis adalah Nusantara, yaitu peradaban tertua di bumi.

WARISAN ATLANTIS DI BANTEN
Kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia, dimana musik adalah bagian dari kebudayaan itu, maka berbicara musik juga akan berbicara masyarakat pendukung musik tersebut. Musik tradisional di setiap masyarakat memiliki kekhasannya masing-masing, demikian pula masyarakat pendukungnya tentu memiliki ciri khas masing-masing, mitologi, filosofi, serta kepercayaannya. Oleh karena itu, warisan atlantis yang tersisa dapat diidentifikasi berupa kearifan-kearifan yang terdapat pada pranata-pranata kebudayaan. Diantara pranata itu ialah sistem kepercayaan, kesenian, dan kemasyarakatan.

1.      Urang Kanekes
Orang Baduy sendiri menyebut dirinya Urang Kanekes atau Urang Rawayan[35][35]. Kanekes adalah  nama desa di lereng gunung Kendeng kabupaten Lebak, Banten Selatan.
Menegnai asal-usul nama Baduy terdapat tiga pendapat, pertama dari Roo De La Faillo, menyebutkan bahwa kata Baduy berasal dari kata Wadwa atau Wadya, hal ini berdasarkan hasil hipotesisnya bahwa orang Baduy adalah tawanan perang Sunan Gunung Djati. Wadwa berarti kelompok, tentara, bawahan. Yang kedua dikatakan oleh Blume dan disetujui oleh Spanoge, Baduy menurut Blume adalah Budha, atau dari nama sungai Cibaduy. Yang ketiga dikeluarkan oleh W.R.Van Hoeven menyatakan bahwa baduy berasal dari bahasa Arab Badu/Badawi yang berarti padang pasir. Kata ini disematkan pada urang Kanekes karena keengganan mereka untuk memeluk agama Islam; dan kemudian menyamakan mereka dengan suku Badwi di Arab. Demikian menurut Suria Saputra pada naskah 5, 1950 (Helmi 2010:47).
Kemudian Suria Saputera juga mengajukan teori (sintesa) bahwa akar kata Baduy adalah Waluy yang berarti kembali ke asal. Perubahan W menjadi B biasa terjadi pada kata welas menjadi belas, watu menjadi batu, rewu menjadi rebu (ribu). Juga perubahan L menjadi D, seperti pada kata babal menjadi babad(menebas), euleuh menjadi eudeuh (hal), sabda menjadi sabla (sabda). Kata Bali juga memiliki akar yang sama, yaitu wali,  berakar dari kata waluy dengan bentuk antaranya adalah walwi. Dari bentuk Waluy atau Walu, dapat juga berubah menjadi kata walu. Istilah Kawalu di Kanekes berasal dari kata ini-bukan dari kata kawolu (delapan)-, kemudian dalam bahasa Sunda (baik Sunda umum maupun yang ada di Kanekes) ada kecenderungan menghaluskan kata dengan mengganti suku kata yang terakhir dengan ten, misalnya saniskara menjadi saniskanten (segala), sora soara menjadi soanten (suara), sore menjadi sonten (petang). Maka kata bali dapat dihaluskan menjadi banten, wali menjadi wanten, dan menurut Helmi dapat juga menjadi wahanten, sehingga dapat merujuk pada kerajaan Wahanten Girang di Serang. Dengan demikian, menurut Suria Saputra, kata waluy, baduy, wali, bali, walu, banten, dan banten berasal dari induk kata yang sama, yang memiliki arti  (yang bersifat spiritual) yang sama, yaitu (manusia) kembali kepada asalnya (wiwitan-nya) (Helmi, 2010:48).
Keterkaitan lain antara Bali dengan Baduy yaitu berdasarkan laporan Yadi Ahyadi (2010), bahwa seorang sarjana Hindu telah melakukan penelitian di India menyimpulkan bahwa asal-usul agama Hindu dari Indonesia, yaitu di Banten. Urang Kanekes sendiri tidak beragama Hindu melainkan agama Sunda Wiwitan. Abanten dalam bahasa Bali berarti sesajen, tempat suci, dimana para Pandhita, Karesian, terpusat disana, maka Banten adalah juga “Mandala”. Hal ini pula memperkuat asumsi bahwa Banten turut berperan penting dalam membentuk identitas nasional Indonesia.
Menurut Helmi, bahwa dari beberapa masyarakat adat Sunda di Indonesia, Urang Kanekeslah yang paling kuat memegang teguh adat leluhurnya (2010:9). Filosofi dalam kepercayaan dan ritual Urang Kanekes sangat mirip dengan kepercayaan orang Atlantis sebagaimana dideskripsikan oleh Plato. Ini memancing penulis untuk mengambil hipotesis bahwa Banten sebagai asal mula peradaban manusia.
Urang Kanekes menyebutkan bahwa tanah adatnya merupakan inti jagat. Keyakinanan itu muncul dari pandangan mereka bahwa disanalah alam semesta ini bermula, dan disana pulalah manusia pertama diturunkan ke bumi. Titik Sakral sebagai inti jagat mereka terletak di Gunung Pamuntuan. Di atasnya terdapat bangunan punden berundak yang mereka sebut Sasaka Pada Ageng[36][36]. Pada punden tertinggi terdapat menhir yang mereka sebut Sasaka Pusaka Buana.
Sasaka Pusaka Buana adalah nama menhir yang ada pada punden ke 13 (punden puncak) dari punden berundak Sasaka Pada Ageung di wilayah tangtu. Disinilah tempat alam semesta bermula, dan tempat Batara Tunggal menurunkan tujuh Batara, dianataranya Batara Cikal yang menurunkan Urang Kanekes dan agama Sunda Wiwitan sebagai manusia pertama dan agama pertama. Oleh sebab itu, wilayah kanekes merupakan wilayah inti jagat atau poros alam semesta yang harus tetap dijaga demi kelangsungan hidup alam semesta beserta isinya. Pelaksanaan tugas ini berbentuk muja atau pensucian Sasaka Pusaka Buana pada tanggal 16-18 bulan Kalima. Mencakup juga penjagaan ekstra ketat dari penodaan inti jagat ini, inilah daerah paling terlarang di Kanekes termasuk bagi orang Kanekesnya sendiri kecuali orang-orang tertentu saja.
 Selain itu, menurut Saleh Danasasmita, urang kanekes bukan pelarian Pajajaran atau orang primitif. Melainkan para resi seperti yang tercantum dalam prasasti yang dikutip oleh Nina H. Lubis dan Helmi dalam Prasasti nomor E.43 yang berisi amanat menjaga wilayah untuk para pandita.

2.      Sisa-sisa Kesenian Banten Sebagai Bukti Kepurbakalaan Banten
Berdasarkan paparan sejarah diatas, pasca Atlantis, yaitu sekembalinya migrasi penduduk atlantis ke Nusantara, dapat diasumsikan alat musik yang pertama dibuat menggunakan materi bambu yang hingga sekarang tersisa sebagai Angklung Buhun, Calung renteng, dan gamelan renteng.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara penulis dengan beberapa tokoh/pelaku kesenian tradisi di berbagai tempat dan waktu berbeda didapat sisa-sisa kesenian tradisional yang masih hidup hingga sekarang dan belum dilakukan penelitian secara mendalam terhadap mata kesenian tersebut. Perlu pengkategorian berdasarkan keaslian (asli) atau hasil asimilasi (asupan). Kategori kesenian asli dipandang berdasarkan usia kesenian tersebut sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Budha maupun Islam. Sedangkan kesenian asupan adalah kesenian yang sudah berasimilasi.
Sebagian lagi dari jenis-jenis kesenian Banten juga telah dikembangkan dan dipopulerkan sebelum dibentuknya Propinsi Banten. seperti Jaipongan yang berasal dari Banten dari Rampak Tari Ibing (geblak -di Jawa Barat). Di Banten sendiri disebut nandung/sempilan (ngigel = menari) dari salah satu pertunjukan musik pembuka dalam pentas Ubrug.[37][37] Terdapat pula nama kampung Panayagan dan Kidalang di Kecamatan Bandung, serta terdapat makam Nyi Tandak di sekitar banten Girang.
a.      Angklung Buhun Berskala Pentatonik
Angklung buhun (buhun=tua, Sunda), ukurannya lebih besar dari angklung modifikasi Daeng Sutigna dan Udjo Ngalagena (Jawa Barat). Angklung buhun disebut Angklung Buncis di Arjasari Bandung, Angklung Gubrag di Cipining kabupaten Bogor, Angklung Bungko di desa Bungko Kabupaten Cirebon, Badud di Cijulang Kabupaten Ciamis, Angklung Dogdog Lojor di Ciptarasa Kabupaten Sukabumi, dan Angklung Mayangsari di kampung pulo Ciruas Kabupaten Serang, Dodod di Mekarwangi Kabupaten Pandeglang. (Dinda, 2001:3 dan 59).
Mengenai asal usul angklung buhun harus merujuk pada masyarakat adat Baduy (Kanekes). Adat istiadat dalam masyarakat Baduy sarat dengan filosofi, mitologi dan kosmologi, dapat dibilang lengkap (Helmy,2010). Jika merujuk berdasarkan keberadaan masyarakat Baduy, maka angklung buhun adalah kesenian asli Banten. Usianya sama dengan usia masyarakat Baduy, begitu juga aktifitas pertaniannya, jauh lebih tua dari Hindu-Budha maupun kesultanan. Angklung buhun berskala pentatonik Slendro.[38][38]
Masyarakat Baduy menggunakan angklung untuk ritual padi dengan kepercayaan akan hadirnya Nyi Pohaci Sanghyang Asri (Dewi Padi), suara angklung merupakan manifestasi suara alam yang bermakna bahwa manusia adalah bagian dari alam. Angklung masih digunakan oleh masyarakat Jawa Barat dan Banten hingga masa kini. Menurut keterangan Nedi Suryadi, bahwa pada 1984, di Cikaraton Malingping Kabupaten Lebak Banten, saat bulan Ramadhan, yaitu menjelang sahur, para pemuda memainkan angklung dengan berkeliling kampung, di Cikaraton, kini tinggal hanya seorang saja yang mampu membuat angklung. Sedangkan di Menes Kabupaten Pandeglang Banten, pada sekitar tahun yang sama ritual ngaseuk diawali dengan membuat nasi tumpeng, namun permainan angklung sudah tidak ada lagi sesuai keterangan Munawir Syahidi warga Menes. Dengan demikian, angklung Buhun merupakan alat musik tertua di Banten.

b.      Rudat, Terebang Gede, Zikir Saman, Beluk dan Suling Buhun.
Rudat merupakan jenis kesenian asupan, ia lahir dari pengaruh Islam. Rudat berasal dari kata Raudhah yang berarti “taman bunga” (Arab), muncul di Banten sejak adanya dakwah Islam dengan cara melantunkan puji-pujian/solawat dan syair-syair Syaikh Ja’far al-Barzanji. Rudat dan Terebang Gede menggunakan alat tabuh membranphone, yaitu sejenis ketimpring (rebana) atau terebang, pada Rudat terdapat simbal kecil di sisi-sisinya.[39][39] Rudat sudah banyak terlihat pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa (Abad 16M).  Rudat tidak terlepas dengan tarekat. Demikian pula terebang gede tidak terlepas dari tarekat, digunakan untuk mengiringi atraksi Debus, Bandrong dan Terumbu (seni bela diri), dan sebagainya. Baik pada Zikir Saman, Beluk , Terebang Gede, maupun Rudat terdapat lagu-lagu tua mereka (vokal) berpola pentatonik slendro. Pada Rudat pukulan singkop (syncope), misalnya pada lagu “Nulban, Kapal Berlayar, Ilahinas” dan sebagainya. Sudah banyak dari kesenian banten ini mengalami inovasi (sementara tradisi klasik tetap dipertahankan) dan berkembang sehingga memiliki motif-motif lokal jawa, sunda, serta melayu. Terdapat enam jenis pukulan (style) Rudat, tetapi baru empat macam pukulan yang telah dipelajari oleh grup Rudat Sukaraja di generasi mutakhir (2010). Grup rudat rata-rata berjumlah 12 orang (ensambel), oleh karena itu perbedaan cara memukul bagi masing-masing personilnya menghasilkan efek bunyi yang menciptakan jenis pukulan yang berbeda-beda. Ada enam jenis pukulan iringan, empat diantaranya adalah Kontrengan, Koprok, Tratean, dan Rudat, serta dua pukulan klasik lainnya masih sedang digali.
Pada zikir saman terdapat gaya vokal falsetto sebagaimana digunakan pula dalam beluk, berlaras slendro, misalnya lagu “Asrakal” yang diiringi acapella layaknya suara kendang dan gamelan. Kesenian ini diduga kesenian tua berdasarkan pola pentatoniknya, namun terdapat pola lain yang terdengar sekarang sudah dipengaruhi Islam.
Pada suling buhun diantaranya terdapat lagu  “Ear-ear kotok” dan “Jalan” yang merupakan permainan suling tunggal, suling ini lebih khas pada lagu-lagu yang berlaras slendro (lagu Jalan) dan lebih terasa buhunnya, sedangkan lagu “Ear-ear kotok” berlaras pelog. Uniknya, suling ini terbuat dari kayu (bukan bambu) dengan empat lubang. Sling buhun lebih berkesan profan berdasarkan tema lagu yang dibawakan, namun pola pentatoniknya menunjukkan kesenian ini cukup tua. Demikian pula pada calung renteng, terdapat lagu “Lutung Kasarung, Kebo Jiro, sleweran” yang berisi pantun-pantun jenaka, calung renteng asli merupakan calung yang digantung menggunakan tambang, dalam satu set ada dua buah calung yang berukuran berbeda dan bernada sama dengan laras slendro. Diduga calung ini sebagai cikal bakal gamelan, yang konon di wilayah Banten dahulu terdapat gamelan renteng. Kesenian-kesenian ini tersebar di seluruh wilayah administrasi Banten.

C.  Kesimpulan
1.      Musik Banten adalah asal usul musik dunia berdasarkan kajian Atlantis dan kearifan orang Baduy.
2.      Musik Banten secara organologis  adalah: Angklung Buhun, Calung Renteng, Suling Buhun, Beluk, Gamelan, serta Kecapi.
3.      Musik Banten berdasarkan kategorisasi tangga nada (secara teknis, musikologi) berpola pentatonik, ini juga terdapat pada sistem vokal tanpa instrumentasi.



[1][1] Nakagawa, Shin, Prof: Musik dan Kosmos, Yayasan Obor Indonesia, tahun 2000, halaman 23.

[3][3] Lindsay, Jennifer: Javanese gamelan: traditional orchestra of Indonesia, Oxford University Press,  1992, halaman 40.

[4][4] the University of Michigan, Gamelan pakurmatan Kraton Yogyakarta, Taman Budaya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 1993, halaman 2.
[5][5] Nakagawa, Shin, Prof: Musik dan Kosmos, Yayasan Obor Indonesia, tahun 2000, halaman 23.
[6][6] Ibid, halaman 4.
[7][7] Christine Ammer, 2004,  The Facts on File Dictionary of Music, halaman 262. British menyebut “nada” dengan “note”, sedangkan Amerika adalah “tone” untuk menyebutkan nada sebagai bunyi (audio), dan “note”  sebagai lambang nada  (tekstual). 
[8][8] Dave Benson, 2004, Mathematic and Music, Departement of Mathematics, University of Georgia, Athens, USA, halaman 1.
[9][9] Santos, Arisiyo, 2011 :Atlantis:The Lost Continent Finally Found, Atlantis Publication 2005, halaman 67.
[10][10] Halftone adalah interval setengah nada, sebelumnya  satuan terkecil nada menggunakan microtone, kemudian terjadi perubahan dan menghasilkan kesepakatan untuk menggunakan dua macam saja, yaitu satu nada (wholetone), dan setengah nada (halftone). Jadi, jika menggunakan satuan halftone, maka tangga nada diatonis berarti didominasi oleh halftone x 2.
[11][11] Istilah “populer” berkonotasi pada sesuatu yang bersifat popularitas, temporal (tidak lama), dan lokal (di tempat tertentu saja). Misalnya suatu grup band populis dalam tiga bulan saja, dan di satu negeri saja, biasanya hanya berorientasi pada industri.
[12][12] Seorang Pendeta yang lahir di Prancis, kemudian tinggal di Arezzo, sebuah kota di Italia, konon ia mengembangkan teori notasi Boethius.( Christine Ammer: Dictionary of Music,halaman 168)
[13][13] Yunus bekerja untuk Al-Zubair bin al-Awwam di bagian administrasi pemerintahan di Madinah, atau Amr bin al-Zubair yang ayahnya seorang pakar hukum (fakih) dari Persia (sekarang Iran). Yunus ahli menulis (al-katib), ia mahir menyanyi dan membuat puisi. Ia belajar musik kepada empat orang penyanyi, pada 724 – 742  ia menjadi  langganan untuk menghibur Walid bin Yazid di Syria, dan menginap selama tiga hari dengan upah yang layak. Sekembalinya ke Madinah, salah seorang sahabatnya Ibnu Ruhaima membuat puisi tentang kecantikan Zainab (putri Ikrimah bin Abdul Rahman bin al-Harits bin al-Hisyam), Yunus memainkan musiknya untuk puisi tersebut dalam satu acara yang pribadi,  namun akhirnya terdengar juga di masyarakat luas hingga ke telinga keluarga Zainab yang membuatnya marah, demikian pula Kekhalifahan nemberikan peringtan kepadanya, atas karyanya itu gubernur Madinah memberinya hukuman masing-masing 500 cambukan untuk pembuat puisi dan musiknya. (Encyclpedia of Islam, 1913-1936, Martijn Theodoor  Houtsma, vol 2, halaman 175).
[14][14] Joseph Peter Swain, 2006, Historical dictionary of sacred music , hal. 231.
[15][15] Aulos adalah alat musik tiup ganda, pola permianan aulos mirip dengan permianan alat musik tradisional orang Irlandia, yaitu bagpipe, terdapat beberapa contoh permianan aulos di Youtube.com.
[16][16] Hagel, Stefan, 2009; Ancient Greek Music, a New Technical History, Cambridge University press, Halaman 6
[17][17] Hasil kunjungan ke sanggar-sanggar pada bulan April 2011.
[18][18] A. N. Tucker, 1933, Tribal Music and Dancing in the Southern Sudan (Africa) at Social and Ceremonial Gatherings    (London: William Reeves), Hal 55.
[19][19] Joseph Peter Swain, 2006, Historical dictionary of sacred music , hal. 231.
[20][20] Ibid, 232. Musik kerajaan yang sudah populer sejak Periode Hein (794-1192 M), musik ini asli dari Cina dengan nama To-gaku, dan di Kore dikenal Komagaku, musik jenis ini dimainkan secara instrumentalia (tanpa vokal).
[21][21] Hasil wawancara dengan Sarmani usai acara peluncuran dan bedah buku “Ubrug, Tontonan dan Tuntunan” pada 27 Oktober 2010 di Perpustakaan dan Arsip Daerah Banten di Serang.
[22][22] Yoseph Iskandar, Sejarah Banten, 2001, halaman xiv, dan 4-5.
[23][23] Christine Ammer, 2004: Dictionary of Music, hal 129).
[24][24] Ibid, Halaman 156
[25][25] Jennifer Lindsay, 1992, Javanese Gamelan: Traditional Orchestras of Indonesia, Oxford University press, Oxford New York. Halaman 2.
[26][26] Clara Brakel-Papenhuyzen, 1991, The Bedhaya Court Dances of Central Java, halaman 35

[27][27] R.T. Warsodiningrat, Serat Weda Pradangga. Dalam Roth, A. R. New Compositions for Javanese Gamelan. University of Durham, Thesis doktoral, 1986. halaman 4.

[28][28] Lindsay, Jennifer. Javanese Gamelan. 2nd.ed. Kualalumpur: Oxford University Press,
1992. halaman 6.
[29][29] Dalam cerita pewayangan tedapat banyak versi, baik dipandang dari sudut letak geografis cerita, maupun karena pengaruh budaya dan agama-agama yang datang kemudian.
[30][30] Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda (Alam, Manusia dan Budaya, termasuk Cirebon dan Betawi), Pustaka Jaya, 2000, halmana 52.
[31][31] Laporan Yadi Ahyadi  atas keterangan Ahmad Wahyudin pada 2007.
[32][32] d'Alviella, 1892,  Goblet, halaman 22-23.
[33][33] Pikiran Rakyat, Sabtu, 14 Juni 2003
[34][34] Christine Ammer, halaman 131.
[35][35] Rawayan = Jembatan, Keturunan, (Glosarium dalam Helmi Faizi Bahrul Ulum, 2010, Ngareksakeun Sasaka Pusaka Buana: Pandangan Etika Urang Kanekes Tentang Hubungan Manusia Dengan Alam, UGM Yogyakarta, Disertasi Doktoral.
[36][36] Sasaka = tiang/tonggak utama, pusaka, kabuyutan (Helmi, 2010, Glosarium).
[37][37] Keterangan Sarmani pada Agustus 2010.
[38][38] Dinda, 2001, halaman 100.
[39][39] Wawancara dengan Asep Sukaraja pimpinan Rudat Sukaraja, Kampung Baru Serang, dalam suatu latihan untuk persiapan Konser Gotun.

No comments:

ikuti blog ini

Follow My Blog

Popular Posts

KARYA KITA